Jumat, 18 November 2011

SEPULUH SHOHABAT YANG DIJAMIN MASUK SYURGA

Berikut ini 10 orang sahabat Rasul yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam).
1. Abu Bakar Siddiq ra.
Beliau adalah khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu Abu bakar juga merupakan laki-laki pertama yang masuk Islam, pengorbanan dan keberanian beliau tercatat dalam sejarah, bahkan juga didalam Quran (Surah At-Taubah ayat ke-40) sebagaimana berikut : “Jikalau tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seseorang dari dua orang (Rasulullah dan Abu Bakar) ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Abu Bakar Siddiq meninggal dalam umur 63 tahun, dari beliau diriwayatkan 142 hadiets.
2. Umar Bin Khatab ra.
Beliau adalah khalifah ke-dua sesudah Abu Bakar, dan termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya. Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul (tahun keenam sesudah Muhammad diangkat sebagai Nabi Allah), ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat. Dijaman kekhalifaannya, Islam berkembang seluas-luasnya dari Timur hingga ke Barat, kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukkannya dalam waktu hanya satu tahun. Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan berdekatan dengan Abu Bakar dan Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah.
3. Usman Bin Affan ra.
Khalifah ketiga setelah wafatnya Umar, pada pemerintahannyalah seluruh tulisan-tulisan wahyu yang pernah dicatat oleh sahabat semasa Rasul hidup dikumpulkan, kemudian disusun menurut susunan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw sehingga menjadi sebuah kitab (suci) sebagaimana yang kita dapati sekarang. Beliau meninggal dalam umur 82 tahun (ada yang meriwayatkan 88 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
4. Ali Bin Abi Thalib ra.
Merupakan khalifah keempat, beliau terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Selain Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya didalam peperangan. Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Ali Bin Abi Thalib meninggal dalam umur 64 tahun dan dikuburkan di Koufah, Irak sekarang.
5. Thalhah Bin Abdullah ra.
Masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra, selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar. Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari beliau. Thalhah Bin Abdullah gugur dalam Perang Jamal dimasa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam usia 64 tahun, dan dimakamkan di Basrah.
6. Zubair Bin Awaam
Memeluk Islam juga karena Abu Bakar Siddiq ra, ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti semua peperangan. Beliau pun gugur dalam perang Jamal dan dikuburkan di Basrah pada umur 64 tahun.
7. Sa’ad bin Abi Waqqas
Mengikuti Islam sejak umur 17 tahun dan mengikuti seluruh peperangan, pernah ditawan musuh lalu ditebus oleh Rasulullah dengan ke-2 ibu bapaknya sendiri sewaktu perang Uhud. Meninggal dalam usia 70 (ada yang meriwayatkan 82 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
8. Sa’id Bin Zaid
Sudah Islam sejak kecilnya, mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Beliau bersama Thalhah Bin Abdullah pernah diperintahkan oleh rasul untuk memata-matai gerakan musuh (Quraish). Meninggal dalam usia 70 tahun dikuburkan di Baqi’.
9. Abdurrahman Bin Auf
Memeluk Islam sejak kecilnya melalui Abu Bakar Siddiq dan mengikuti semua peperangan bersama Rasul. Turut berhijrah ke Habasyah sebanyak 2 kali. Meninggal pada umur 72 tahun (ada yang meriwayatkan 75 tahun), dimakamkan di baqi’.
10. Abu Ubaidillah Bin Jarrah
Masuk Islam bersama Usman bin Math’uun, turut berhijrah ke Habasyah pada periode kedua dan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah Saw. Meninggal pada tahun 18 H di urdun (Syam) karena penyakit pes, dan dimakamkan di Urdun yang sampai saat ini masih sering diziarahi oleh kaum MusLIM

PAHLAWAN PERANG BADAR

Di antara sahabat Nabi saw yang terkenal paling pemberani adalah paman beliau sendiri, Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau seorang lelaki Arab yang paling berani, pejuang yang pantang mundur, dan komandan perang Islam yang cerdas dalam beberapa peperangan yang sangat menentukan masa depan Islam, seperti perang Badar dan Uhud. Dengan keahlian perangnya yang mumpuni, dia menjadi salah seorang penentu kemenangan perang Badar dengan beberapa sahabat Nabi lainnya yang gagah berani, meskipun saat itu jumlah pasukan kaum Muslimin sedikit.
Hamzah senantiasa berada di sisi kemenakannya sendiri, Nabi Muhammad saw dan di saat tersulit pun ia selalu setia membela risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Pemimpin dan pembesar Quraisy takut dan khawatir akan keberanian beliau. Dan ketakutan itu membuat mereka tidak punya nyali untuk mencegah laju dakwah Rasulullah saw. Sehingga bisa dikatakan, Hamzah memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjaga Islam serta membela Nabi demi keberlangsungan dan keabadian ajaran suci Islam.
Selama di Mekkah, Hamzah membantu Rasulullah saw di saat-saat genting dengan sepenuh jiwa. Beliau rela berkorban dan tak segan-segan menjadikan dirinya sebagai tumbal saat berhadapan langsung dengan kaum musyrikin.
Beliau adalah putra Abdul Muthalib dan paman Rasulullah saw. Beliau lahir pada tahun keempat sebelum peristiwa pasukan gajah (Tahun Gajah) di kota Mekkah. Di tengah masa Jahilah dan tersebarnya akidah syirik pada penduduk Hijaz, beliau tetap berpegang pada ajaran lurus Nabi Ibrahim dan dikenal sebagai pemuda yang senantiasa memberikan perlindungan kepada orang-orang lemah.
Ayahnya adalah Abdul Muthalib dan ibunya anak perempuan dari Amru bin Zaid bin Lubaid yang bernama Salmi.
Saudara Sepersusuan Rasulullah saw
Hamzah sangat dekat dengan Nabi saw. Kedekatan ini tidak hanya dari sisi spiritual namun juga dari sisi material. Tsubah, budak Abu Lahab pernah menyusui Hamzah dan sewaktu menyusui anaknya yang bernama Masruh, ia juga menyusui Nabi saw selama beberapa hari. (1) Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hamzah dan Nabi adalah saudara sepersusuan.
Sewaktu Nabi saw memulai menyebarkan ajaran sucinya dan masyarakat secara bertahap menerima ajaran tauhid dan pesan-pesan Al-Qur’an, Hamzah pun sebenarnya telah mengetahui dan tertarik dengan kebenaran ajaran Ilahi dan dakwah kemenakannya, Muhammad saw. Namun demi kemaslahatan saat itu ia belum menampakkan keimanan dan keyakinannya. Ia seolah menunggu moment yang tepat untuk menunjukkan ketertarikan dan kecintaannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw serta mendukung risalah Ilahi secara terang-terangan.
Karena Hamzah hidup bersama kaum musyrikin maka ia mengetahui pelbagai konspirasi mereka terhadap Nabi saw. Hal itulah yang membuatnya semakin tergugah dan tegar untuk membela Rasul saw. Setiap dakwah Islam semakin bertumbuh dan jumlah kaum Muslimin semakin bertambah maka perlawanan kaum musyrikin pun semakin hebat. Keteguhan dan ketegaran Nabi saw di jalan kebenaran dan syariat Ilahi begitu menggugah perasaan Hamzah. Beberapa tahun setelah masa pengangkatan Nabi berlalu, terbuka kesempatan bagi Hamzah untuk menunjukkan keimanan dan akidahnya. Sebagian mengatakan bahwa Hamzah masuk Islam pada tahun kedua pasca bi’tsah (masa pengangkatan Nabi), sebagiannya lagi menyakini pada tahun keenam pasca bi’tsah. Kisah mengenai masuk Islamnya beliau sangat menarik:
Setelah pengangkatan Muhammad saw menjadi Nabi, Hamzah juga mengucapkan syahadat dengan menyakini keesaan Allah Swt dan kebenaran agama yang dibawah oleh putra saudaranya. Setelah Hamzah masuk Islam, kaum Quraisy mengajukan beberapa permintaan/usulan kepada Rasulullah saw. Sebab mereka sadar bahwa laki-laki yang paling berani kini telah menyatakan keimanannya di hadapan Nabi saw, sehingga karena itu mereka tak lagi dapat mengharapkan dukungannya. Namun Nabi saw tak memenuhi satupun dari permintaan mereka.
Usai Abu Jahal menyampaikan pidatonya di tengah-tengah Kabilah Quraisy, mereka memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad.
Suatu hari Abu Jahal melihat Nabi di bukit Safa, lalu ia memaki Rasul. Nabi tetap saja berjalan menuju ke rumah beliau tanpa memperdulikan makian Abu Jahal. Budak Abdullah bin Jad’an yang menjadi saksi mata atas peristiwa tersebut melaporkannya kepada Hamzah. Tanpa berpikir panjang dan memikirkan akibatnya, Hamzah memutuskan untuk membalas perlakukan buruk yang didapat oleh kemenakannya. Di tengah perjalanan ia menemui Abu Jahal yang berada di tengah kerumunan orang-orang Quraisy. Tanpa memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berbicara, ia mendekati Abu Jahal dan langsung menghantam kepalanya dengan cambuk, sehingga kepala Abu Jahal bersimbah darah. Hamzah pun berkata, “Berani kau menghina Rasulullah? Saya beriman dengan apa yang dikatakannya dan akan mengikuti jalan kemanapun dia pergi. Jika kau berani, silakan berhadapan denganku!” Dengan menghadap kepada orang-orang Quraisy, Abu Jahal berkata, “Saya telah berbuat buruk pada Muhammad, dan wajar Hamzah marah.” (2)
Ketika penyiksaan kaum Musyrikin kepada pengikut Nabi Muhammad saw semakin menjadi-jadi, beberapa sahabat beliau berhijrah ke Habasyah. Tidak berapa lama kemudian Nabi saw pun akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Beberapa kelompok kaum Muslimin Yatsrib bertemu dengan Nabi saw di Mina saat mereka melaksanakan ibadah haji. Mereka berjanji bahwa jika sekiranya Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya berhijrah ke Madinah maka mereka akan memberikan perlindungan terhadap umat Islam yang teraniaya tersebut.
Demi kelancaran pertemuan dan keberlangsungan perjanjian tersebut, Hamzah melindungi dan menyembunyikan pertemuan tersebut dari kaum Musyrikin. Akhirnya, setelah satu dua tahun kemudian kaum Muslimin mendapat kesempatan dan peluang untuk berhijrah. Sebelum Rasulullah saw berhijrah, beberapa kelompok terlebih dahulu berhijrah ke Yatsrib dan Hamzah ikut di antara mereka. Setibanya di Madinah, mereka menunggu detik-detik kedatangan Nabi saw.
Akhirnya Nabi saw hijrah ke Madinah. Hijrah Nabi saw ini membuat kekuatan umat Islam semakin bertambah, sekaligus membuat permusuhan kaum Musyrikin melemah. Sampai akhirnya umat Islam dan kaum musyrikin saling berhadap-hadapan pada perang Badar. Pada perang yang pertama kali ini Sayyidina Hamzah mendapat gelar asadullah wa asadurrasul (singa Allah dan Rasul-Nya). Saat itu beliau diserahi amanah oleh Rasulullah untuk menjadi komandan perang dimana bendera perang ada di tangannya. Hamzah memimpin pasukan Islam yang hanya berjumlah 30 orang untuk berhadapan dengan 300 orang dari laskar Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan, tahun pertama hijriyah. Meskipun tidak terjadi kontak fisik antara kedua kubu namun Hamzah merasa terhormat dan bangga ketika ditunjuk oleh Nabi sebagai pimpinan pasukan.
Epik kepahlawanan dalam Peperangan
Perkembangan dakwah Islam yang pesat membuat kaum Quraisy semakin murka dan semakin meningkatkan penyiksaan dan permusuhan mereka terhadap umat Islam. Bahkan Abu Lahab, paman Nabi saw dan istrinya berkali-kali bersikap buruk terhadap Rasulullah saw, utamanya ketika mereka bertetangga dengan beliau. Nabi saw tidak mampu berbuat apa-apa ketika kepala dan wajah beliau dilempari berbagai kotoran dan sampah serta kotoran kambing. Hamzah pun membalas tindakan setimpal yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Sariyah (perang yang tidak diikuti Nabi saw) pertama: Rasulullah saw berhijrah dari Mekah ke Madinah pada hari Senin 12 Rabiul Awal dan bendera pertama Rasulullah saw yang berwarna putih, pada bulan Ramadhan, awal bulan ketujuh tahun pertama Hijriyah, diserahkannya kepada Hamzah, pamannya. Abu Marshad Kannas bin Hushain Ganawi, termasuk orang pertama yang masuk Islam dan sekaligus teman sebaya Hamzah, mengikatkan bendera itu di pundaknya. Rasulullah saw mengutus Hamzah dengan 30 sahabat Muhajirin menuju ke medan perang untuk menghadapi 300 orang pasukan Quraisy. Pasukan Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu pasukan musuh telah melakukan perjalanan dari Syam dan ingin kembali ke Mekah. Di salah satu desa di tepi laut merah dua pasukan ini bertemu. Mujaddi bin Amru Jahni yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak menjadi mediator dan berusaha keras agar kedua kelompok berunding dan mencegah terjadinya peperangan.
Pada bulan Safar tahun awal Hijriyah, Rasulullah saw ikut serta dalam Ghazwah Abwa (perang yang diikuti Nabi saw) Abwa untuk pertama kalinya. Abwa adalah tempat yang berjarak 37 km di antara Mekah dan Madinah (3). Saat itu beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Dalam Ghazwah ini, Rasulullah saw bertekad untuk menghadapi kafilah Quraisy, namun beliau tidak bertemu langsung dengan pasukan musuh.
Pada bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijriyah, Rasulullah saw berangkat menuju Gazhwa Dzul’asyirah dan lagi-lagi beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Beliau bergerak bersama 150 pasukan sukarelawan Muhajirin. Kelompok pasukan ini memiliki 30 ekor unta dan mereka saling bergantian mengendarainya. Ketika Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya tiba di Dzul’asyirah, pasukan kaum kafir Quraisy telah melewatinya sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika kembali pun, pasukan musuh melewati tepian pantai sehingga tidak bertemu dengan Rasulullah saw dan para sahabatnya. (4)
Pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kuffar Quraisy yang dikenal dengan nama perang Badar. Sewaktu Rasulullah saw merapikan barisan kaum Muslimin, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan angin kencang ini bertiup berulang sampai beberapa kali. Angin kencang ini sebagai pertanda kedatangan para malaikat. Yang pertama, Malaikat Jibril dengan seribu malaikat lainnya datang menghadap Rasulullah saw, yang kedua Malaikat Mikail dengan seribu malaikat di sebelah kanan Rasulullah saw dan yang ketiga Malaikat Israfil dengan seribu malaikat disisi kiri Rasulullah saw. Kesemua malaikat ini mengenakan sorban (ikat kepala) yang terbuat dari cahaya yang berwarna hijau, kuning dan merah yang menggelantung sampai di pundak mereka, dan mereka menggantungkan bulu dan rambut di dahi unta-unta mereka. Rasulullah saw bersabda kepada sahabat-sahabatnya, bahwa mereka adalah malaikat-malaikat yang akan memberikan bantuan dan dukungan kepada kaum Muslimin. Para malaikat telah menandai diri mereka, maka kalian pun hendaklah melakukan hal yang sama. Lalu para sahabat mendandai topi besi yang dikenakan di kepala mereka dengan bulu onta(5)
Orang yang pertama kali tiba di medan pertempuran dari kaum Muslimin adalah Muhajja` (budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khattab). Kaum musyrikin berteriak dengan keras, “Hai Muhammad, siapa saja yang punya hubungan dengan kami, kirimlah dia untuk berperang dengan kami.” Nabi Muhammad saw berkata kepada Bani Hasyim, “Bangkitlah! Berperanglah demi kebenaran yang dengannya Nabi kalian diutus dan mereka datang untuk memadamkan cahaya kebenaran itu.!!!”
Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib dn Ubaidah bin Harits bin Muthalib keluar dari barisan dan menuju mereka. Karena ketiga orang tersebut mengenakan penutup kepala sehingga sulit untuk dikenali. Utbah berkata, “Berbicaralah sehingga kami dapat mengenali suara kalian!” Hamzah berkata, “Sayalah Hamzah, putra Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya.” Utbah berkata, “Ya, kamu adalah pembesar, lantas siapa dua orang bersamamu ini?” Hamzah menjawab, “Ali bin Abi Thalib dan Ubaidah bin Harits”. Utbah berkata, “Dua orang bersamamu juga adalah juga orang-orang besar”.
Waktu itu Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Walid bin Utbah dan berhasil membunuhnya. Sementara Hamzah berduel dengan Utbah dan juga berhasil membunuhnya dengan hanya dua pukulan. Dan Ubaidah bin Harits sahabat Nabi yang paling muda saat itu berdiri menghadapi Syaibah. Syaibah memukulkan pedangnya pada kaki Ubaidah dan membuat pergelangan kaki Ubaidah terpotong. Melihat itu Hamzah, singa Allah dan Rasul-Nya bersama Ali segera menyerang Syaibah dan mereka berhasil membunuhnya.(6)
Dalam perang ini, Abdurrahman bin Auf dan Bilal Habasyi berhasil menawan Umayyah bin Khalf dan anaknya. Bilal berkata, ”Waktu itu saya berada diantara Umayyah dan anaknya, kemudian saya menangkap mereka. Umayyah bertanya kepada saya, “Siapa diantara kalian yang menandai dadanya dengan bulu onta?”. Saya menjawab, “Hamzah bin Abdul Muthalib.” Ia berkata, “Hamzah membawa malapetaka atas diri kami.
Pertengahan Syawal tahun kedua Hijriyah. Kabilah Bani Qainuqa’, kelompok yang paling berani diantara kelompok kaum Yahudi yang berprofesi sebagai pandai besi memiliki ikatan perjanjian dengan Abdullah bin Ubay dan juga Rasulullah saw. Ketika terjadi perang Badar, kebencian dan rasa dengki membuat mereka memutuskan untuk membatalkan perjanjian. Allah Swt menurunkan surah Al-Anfal ayat 58 kepada Rasulullah saw, “Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.” (7)
Dengan turunnnya ayat ini, Rasulullah menjadi waspada terhadap Bani Qainuqa’. Beliau menyerahkan bendera ke tangan Hamzah dan memerintahkannya dengan beberapa pasukan untuk menghadapi mereka. Bani Qainuqa’ adalah kelompok Yahudi yang pertama kali melakukan pengkhianatan kepada Islam. Ketika Rasulullah saw baru melakukan pengepungan, kontan saja mereka merasa ketakutan, sehingga mereka pun menyerah kepada kaum Muslimin dan menyerahkan harta-harta mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bebaskan mereka, Allah Swt telah melaknat mereka dan Abdullah bin Ubay”.(8)
Perang Uhud: Akhir Syawal tahun kedua Hijriyah menjelang terjadinya perang Uhud. Hamzah, sebagai panglima perang—sebelum memulai perang— berkata, “Demi Allah Swt yang telah menurunkan Al-Qur’an, hari ini saya tidak akan menyentuh sedikit pun makanan sampai saya menghadapi lawan dalam peperangan.”(9)
Hamzah bersama Kaum Muslimin
Di malam hari perang Uhud, Rasulullah saw tahu bahwa tidak lama lagi pamannya akan gugur sebagai syahid. Beliau pun berbincang dengan Hamzah dan menanyakan kembali keyakinannya mengenai ketauhidan dan kenabian serta risalah yang dibawanya. Hamzah kemudian menjawab dengan tegas dan kembali mengucapkan syahadat dengan lidahnya. Akhirnya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hamzah adalah pemimpin para syuhada, singa Allah dan singa Rasul-Nya dan paman Nabi.” Sabda Nabi ini menebar aroma kesyahidan dan membuat dada Hamzah bergemuruh. Hamzah pun meneteskan air mata kebahagiaan. Rasulullah saw berdoa agar pamannya tetap tegar berdiri di jalan tauhid dan segala keraguan di dalam hatinya segera sirna.
Menjelang Perang Uhud, Hamzah berkata kepada Nabi saw, “Saya bersumpah atas nama Allah, tidak akan sedikitpun menyentuh makanan sebelum mengeluarkan semua musuh dari kota Madinah.
Perang Uhud terjadi pada bulan Ramadhan, kaum Muslimin berbaris dengan rapi di kaki gunung Uhud di bagian utara Madinah. Setelah perang satu lawan satu, maka dimulailah perang secara terbuka. Hamzah bertempur dengan gagah berani dan penuh dengan keimanan yang meluap-luap. Dengan dua pedang di tangannya, ia menyerang dengan penuh keberanian sambil berteriak, “Saya adalah singanya Allah.
Thalhah bin Abi Thalhah pembawa bendera kaum Musyrikin berteriak sambil menantang, “Siapakah yang berani berhadapan denganku?” Ali bin Abi Thalib bergegas mendekatinya dan menebaskan pedang ke arah kepalanya. Tebasan itu membuatnya keningnya terbelah dan mengucurkan darah sehingga akhirnya ia pun terjatuh dan terkulai ke tanah. Melihat itu, Rasulullah saw tersenyum seraya mengumandangkan takbir. Kaum Muslimin pun serentak mengumandangkan takbir yang sama. Bendera kaum musyrikin tersebut kemudian beralih ke tangan Utsman bin Abi Thalhah. Hamzah segera berlari ke arahnya, dan mengayungkan pedang ke bahunya. Tebasan pedang Hamzah mematahkan tangan dan bahunya, pedangnya terlepas dan paru-parunya terburai keluar. Hamzah kemudian kembali sembari mengumandangkan syair, “Saya putra pemberi minum jamaah haji.” (10)
Banyak kaum musyrikin yang terbunuh di perang tersebut di tangan Hamzah. Diantaranya adalah pemegang bendera laskar Bani Abduddar, Atha’ bin Abdu dan Utsman bin Abi Thalhah dan juga Saba’ bin Abdul `Uzzah dan Amru bin Fadlah.
Wahsyi Habasyi
Jabir bin Mut’im mempunyai budak yang bernama Wahsyi yang sebagaimana orang-orang Habasyah lainnya terkenal pandai menombak dan jarang gagal mengenai sasaran ketika melemparkan tombaknya. Pada perang Uhud Jabir berkata kepada budaknya, “Pergilah bersama pasukan ini, dan jika kamu melihat pamannya Muhammad maka bunuhlah dia. Aku ingin membalas dendamku atas kematian pamanku Ta’imah bin Addi di perang Badar. Jika kamu berhasil membunuhnya maka kamu kubebaskan.” Hindun, anak Utbah juga meminta Wahsyi untuk membunuh salah satu dari Muhammad, Ali atau Hamzah untuk membayar kematian bapaknya. Wahsyi pun menjawab, “Saya sama sekali tidak bisa menemukan cara untuk membunuh Muhammad ataupun Ali pun. Mereka begitu lincah dan tangkas di medan perang. Namun Hamzah mudah terjebak dalam kemarahan dan emosional saat terjadi peperangan sehingga ia tidak memperhatikan lagi kondisi sekitarnya. Mungkin aku bisa membunuhnya dengan cara licik.
Wahsyi bercerita, “Saya pada perang Uhud selalu mengikuti Hamzah dari belakang. Dia berperang bagaikan singa liar yang menerkam jantung musuh-musuhnya. Saya bersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan sehingga dia tidak bisa melihatku. Ketika dalam keadaan sibuk menghadapi musuh-musuhnya, saya pun semakin mendekat ke arah Hamzah. Dengan jarak yang menyakinkan sayapun melemparkan tombakku ke arahnya. Tombak itupun tertancap di tubuhnya. Ia hendak menyerang ke arahku, namun karena rasa sakit yang sangat ia pun berteriak tak berdaya hingga ruhnya terpisah dari badannya. Dengan penuh kehati-hatian saya pun mendekat ke arahnya. Setelah mengambil senjatanya, sayapun bergegas kembali ke pusat pasukan kaum Quraisy sembari menunggu saya dibebaskan.” (11)
Setibanya kembali di Mekkah, Wahsyi pun mendapat imbalan kebebasan setelah ia menjalankan tugasnya dengan baik. Pada hari Fathul Mekkah (penaklukan kota Mekkah) dia melarikan diri ke Thaif. Pada tahun ke Sembilan Hijriyah penduduk Thaif datang berbondong-bondong ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Wahsyi pun berencana kembali melarikan diri ke Syam atau Yaman. Namun ia mendapat kabar, siapapun yang bersyahadat benar dengan lidahnya dan menyatakan keislaman maka Nabi Muhammad saw tidak akan membunuhnya. Ia pun bergegas menghadap kepada Nabi Muhammad saw dan kemudian mengucapkan syahadat sebagai pernyataan keislamannya. Rasulullah saw memintanya untuk menceritakan bagaimana ia bisa membunuh Hamzah. Setelah diceritakan Rasulullah saw pun bersedih dan berkata kepada Wahsyi, “Mulai sekarang jangan perlihatkan lagi wajahmu di hadapanku.” Atas permintaan Rasulullah saw, Wahsyi pun menjauh dan tidak menampakkan diri di hadapan Rasulullah saw sampai kemudian beliau saw wafat. Sepeninggal Rasulullah saw, Wahsyi pun berkesempatan mengikuti perang melawan Musailamah. Dengan dibantu seorang sahabat dari kaum Anshar, Wahsyi berhasil membunuh Musailamah. Dengan penuh haru ia berkata, ”Saya telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah saw, dan juga telah membunuh manusia paling buruk di dunia.”(12)
Akibat dari masa lalu yang gelap, Wahsyi sampai akhir hayatnya enggan untuk berhubungan dengan kaum Muslimin. Namanya dihapus dari deretan laskar kaum Muslimin karena sikapnya yang tidak baik dan karena banyak meminum minuman keras ia pun sering dijatuhi hukuman cambukan. Umar bin Khattab berkata, “Pembunuh Hamzah tidak akan lagi mendapat pembebasan dan tidak layak masuk dalam daftar orang-orang baik.” (13)
Istri Abu Sufyan dan Kebenciannya terhadap Hamzah
Hindun, anak perempuan Utbah memerintahkan kepada Wahsyi untuk membunuh Hamzah sebagai penebus darah ayahnya. Dan Wahsyi pun menyanggupinya. Hindun banyak membuat gelang kaki dan kalung leher dari telinga dan hidung para syuhada Islam yang gugur pada perang sebelum perang Uhud. Ia memberikan dan mengenakan semuanya itu pada Wahsyi dan meminta agar hati Hamzah diserahkan kepadanya. Mengenai perbuatan yang sangat tidak pantas dan menjijikkan ini, Abu Sufyan berkata, “Saya tidak pernah menyetujui perbuatan ini dan juga tidak pernah memerintahkannya.” Karena perbuatan buruk Hindun ini, ia mendapat julukan “pemakan hati”. Anak-anaknya pun dikenal dengan julukan anak dari si pemakan hati.
Nama Hindun semakin menjijikkan ketika ia yang notebene masih saudara sepupu Hamzah dan putri dari Utbah bin Abdul Muthalib berdiri di atas batu dan dengan penuh rasa dendam ia menguyah-nguyah hati Hamzah dan menelannya. Abu Sufyan pun ikut mendekati jasad Hamzah dan bertindak tidak senonoh tehadap mulut Hamzah. Pada saat itu Hulais bin Zabban yang kebetulan lewat di tempat itu melihat perbuatan yang tidak senonoh Abu Sufyan lalu ia berteriak, “Wahai orang-orang, lihatlah tokoh besar kabilah Quraisy ini dengan tanpa hati ia memperlakukan tidak senonoh kepada anak pamannya sendiri.” Abu Sufyan merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini tidak pantas kau lihat, dan ini juga bukan sebuah kesalahan besar.
Kesedihan Rasulullah atas Syahidnya Hamzah
Rasulullah saw pada perang Uhud berkali-kali menanyakan tentang keadaan pamannya. Salah seorang sahabat Rasulullah bernama Harits bin Shamah bermaksud untuk memberikan kabar kepada Rasulullah saw. Namun mengingat kondisi jenazah Hamzah yang begitu memprihatinkan, ia tidak sampai hati menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Karena belum juga ada kabar, Rasulullah saw memerintahkan Sayidina Ali untuk mencarinya. Namun sewaktu Ali juga melihat jenazah Hamzah dalam kondisi tidak utuh lagi, ia pun terduduk disamping jenazah tersebut dengan penuh kesedihan. Beliau pun berat menyampaikan berita duka tersebut kepada Rasulullah saw.
Rasulullah akhirnya mencari sendiri jasad Hamzah. Beliaupun menemukan jasad Hamzah penghulu para syuhada yang begitu mengenaskan. Beliau saw bersabda, “Tidak ada musibah yang lebih besar dari kematianmu dan tidak ada kesedihanku yang lebih sulit dari ini.” (14) Setelah itu, beliau berkata, “Jika sekiranya Allah memberiku kekuatan, aku akan membalas kematian Hamzah dan akan kubunuh 70 orang Quraisy dan akan kupong tubuh mereka.” Pada saat itu malaikat Jibril datang dan membacakan sebuah surah yang berbunyi, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (15)
Rasulullah saw setelah mendengar ayat tersebut bersabda, “Saya akan bersabar dan tidak akan membalas dendam.” Rasulullah saw pun mengambil jubahnya dan menutupi wajah Hamzah. Namun jubah itu terlalu pendek bagi Hamzah. Jika jubah itu menutupi kepala maka kaki Hamzah terlihat jelas, namun jika ditarik untuk menutupi kakinya, kepalanya akan terlihat. Karenanya Rasulullah menarik jubah tersebut menutupi kepala Hamzah dan menutupi kaki Hamzah dengan rerumputan dan ilalang. Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya perempuan-perempuan Abdul Muthalib tidak bersedih, saya akan meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini dan membiarkan binatang-binatang padang pasir memangsa dagingnya hingga sampai hari kiamat ia akan tetap berada dalam perut mereka. Semakin besar musibah yang dihadapinya, maka akan semakin besar pula pahala yang akan didapatnya.”(16)
Rasulullah saw berdiri beberapa saat di sisi jenazah Hamzah dan berkata, “Jibril datang di sisiku dan memberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur rasuluhu (17) (Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya).
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Barang siapa yang berziarah kepadaku namun tidak berziarah kepada pamanku Hamzah, sama halnya menyatakan permusuhan kepadaku.” (18)
Rasulullah saw memberikan gelar kepada Hamzah, Sayyidul Syuhada (penghulu para syuhada). Rasulullah saw begitu memuliakan kesyahidan Hamzah. Sewaktu meninggalkan bukit Uhud ingin kembali ke kota Madinah, Rasulullah saw menangis dan juga memerintahkan kepada keluarga kaum Anshar untuk pergi ke rumah Hamzah guna menangis dan meratap di sana. Kepada kaum Muslimin Rasulullah saw bersabda, “Pergilah kalian berziarah ke makam Hamzah”. Rasulullah saw pun selalu berkunjung dan menziarahi para syuhada Uhud, khususnya di makam Hamzah dan beliau selalu menyampaikan salam kepadanya.
Sewaktu kaum musyrikin meninggalkan gunung Uhud, Rasulullah saw mendekati para syuhada. Beliau tidak memandikan jenazah Hamzah dan juga para syuhada lainnya. Beliau saw bersabda, “Kuburkanlah mereka bersama dengan darah-darah mereka tanpa harus dimandikan. Saya yang akan menjadi saksi mereka.” Jenazah Hamzah adalah jenazah yang pertama kali Rasulullah saw mengumandangkan takbir empat kali atasnya. Setelah itu, beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk meletakkan jenazah para syuhada lainnya di sebelah Hamzah. Rasulullah saw melakukan sholat untuk setiap syuhada. Dan khusus untuk Hamzah, Rasulullah melakukan shalat sampai tujuh puluh kali. (19)
Atas perintah Rasulullah saw, Hamzah bersama Abdullah bin Jahasy, syuhada Uhud yang juga dimutilasi dimana telinga dan hidungnya terpotong dikuburkan dalam satu makam. (20)
Setelah itu Rasulullah saw bersama sahabat-sahabatnya kembali ke Madinah. Haminah, putri Jahasy dan saudara perempuan Abdullah menemui Rasulullah saw. Ketika Rasulullah menyampaikan kabar mengenai kesyahidan Abdullah, Haminah berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un, saya memohonkan ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya.” Setelah itu ia bertanya mengenai kabar Hamzah. Ketika mendengar kabar kesyahidan Hamzah, ia kembali mengucapkan hal yang sama dan memohon kepada Allah agar dosa-dosa keduanya diampuni-Nya.
Perempuan-perempuan Anshar dan Hamzah
Ketika kembali dari Uhud ke Madinah, Rasulullah saw melihat perempuan-perempuan kaum Anshar menangis dan mengucurkan air mata atas kesyahidan keluarga mereka sendiri di tempat yang bernama “Bani Abdul Syahl” dan “Bani Dzapar”. Rasulullah saw pun turut bersedih melihat itu dan bertanya, “Tetapi mengapa perempuan-perempuan itu tidak menangis untuk Hamzah?” (21) Sa’ad bin Ma’adz dan Usaid bin Hadhir mendengar perkataan Rasulullah saw ini lalu kemudian mendekati perempuan-perempuan itu dan berkata, “Pergilah kalian ke masjid dan turutlah berduka atas kesyahidan Hamzah, paman Rasulullah.” Mereka pun pergi melakukan apa yang dianjurkan. Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah merahmati mereka, kembalilah dan janganlah kamu enggan merasakan penderitaan orang lain."(22) Rasulullah saw juga bersabda, "Semoga Allah merahmati kaum Anshar, sekarang saya mengetahui, betapa mereka memiliki kepedulian dan perasaan sepenanggungan, persilakan mereka kembali." (23)
Perempuan kaum Anshar sampai sekarang (kurun ketiga Hijriyah) jika ada diantara keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka lebih dulu bersedih dan menangis atas meninggalnya Hamzah baru kemudian menangisi keluarganya sendiri. (24)
Salam atasmu wahai paman Rasulullah dan salam Allah pula atasmu. Salam atasmu wahai yang telah gugur di jalan Allah!. Salam atasmu wahai Singa Allah dan singa Rasul-Nya! Kami bersaksi bahwa engkau telah berjihad di atas agama Allah dan telah mempersembahkan jiwa ragamu dalam membantu perjuangan Rasulullah. Semoga engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah Swt.
Ayat 19 surah Al-Hajj turun di saat perang Uhud tengah berkecamuk, sewaktu Imam Ali dan Hamzah berhasil membunuh Syaibah, Allah Swt berfirman, "Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka." Sebagaimana halnya surah Ad-Dukhan ayat 16, Surah Al-Qamar ayat 45, Surah Al-Hajj ayat 55 dan Az-Zariyat ayat 45 turun berkenaan dengan perang Badar.(25)
Hamzah, penghulu para syuhada adalah teladan dalam hal keimanan, pengorbanan dan keberanian. Kecintaannya kepada Rasulullah dan jasanya yang besar terhadap Islam membuat namanya abadi dan akan terus hidup sepanjang sejarah.

PERANG SHIFFIN

Perang Shiffin (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).
1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, Imam Ali berusaha melakukan perundingan demi mencegah pertumpahan darah di antara sesama muslim. Namun, Muawiyah tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama Shiffin di tepi sungai Furat, Irak. Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah
Perang ini terjadi setelah Muhammad meninggal dan Ali bin Abi Thalib menjabat kekhalifahan dan memaksa Abu Sufyan untuk mengakui kekhalifahannya, dan perang ini terjadi di bukit Shiffin. Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Amru bin Ash dan Ali berhasil menjatuhkan dan melemparkan pedang Amru bin Ash, namun Amru yang menyadari kekalahan dan kematiannya, Amru dengan nekad membuka celananya, sehingga Ali yang akan menghujamkan pedang kearah Amar dan melihat perbuatan Amru, Ali bin Abi Thalib segera memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amru yang telanjang. Sehingga Amru dengan perbuatan memalukannya itu selamat dari tebasan pedang Ali dan Zulfiqar dan juga selamat dari kematian.
Dalam sejarah kehidupan manusia-manusia besar tidak ada yang mampu menyamai sifat kesatriaan Ali bin Abi Thalib, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan walaupun dalam medan pertempuran dan ia adalah manusia yang tidak pernah mengambil keuntungan dari kelemahan lawannya walaupun hal itu bisa membawanya dalam kemenangan dan Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang dalam medan perang tidak pernah menempatkan ego atau hasratnya untuk membunuh lawannya, namun dikarenakan Allah dan nabinya ia mempersembahkan ematian lawannya sebagai hujjah atau bukti pembangkangan lawannya terhadap ke-Esa-an Allah dan kenabian Muhammad.

Kamis, 17 November 2011

SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS


Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

# “Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah

Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.

Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.

Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.

Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.

Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.

Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG MENGAMALKAN HADITS DHAIF/LEMAH

Suatu hadits dikatakan dhaif apabila hadits tersebut sanadnya terputus atau ada cacat/cela pada perawinya, seperti: berbuat dusta, tersangka dusta (baik sangkaan itu dalam bidang meriwayatkan hadits atau lainnya), sering melakukan kesalahan, sering keliru, sering lengah, sering melakukan perbuatan maksiat, salah sangka, bertentangan dengan perawi yang lain yang lebih baik, jelek hafalannya, dll.

Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang hukum/menentukan hukum sesuatu. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang:

  1. Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)
    Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.

  2. At-Targhiib (Memotivasi)
    Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.

  3. At-Tarhiib (Menakuti)
    Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.

  4. Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh

  5. Do’a Dan Dzikir
    Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau, dan supaya orang tidak mengi’tiqatkan sunnahnya sesuatu yang sebenarnya tidak dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau belum tentu dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang membawa akibat kita diancam oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam neraka karena berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:

# “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim)

# “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menyebutkan suatu hadits dhaif melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]

Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.

Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:

  1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.

  2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.

  3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang kedua dan ketiga tersebut di atas sangat ditekankan dan ditegaskan oleh Ibnu Salam, sedangkan syarat yang pertama disetujui oleh semua ulama.

Imam Ahmad berkata: “Hadits dhaif itu lebih baik dari qiyas.” Yang dimaksud oleh Imam Ahmad dengan hadits dhaif tersebut adalah hadits yang setingkat dengan hadits hasan, karena pada masa Imam Ahmad belum ada pembagian hadits menjadi tiga kelompok, yaitu shahih, hasan dan dhaif. Yang ada baru pembagian hadits atas dua kelompok, yaitu shahih dan dhaif saja.

Pembagian hadits dari dua kelompok saja (hadits shahih dan hadits dhaif) menjadi tiga kelompok (hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif) dilakukan oleh Imam At-Tirmidzi dan kemudian diikuti oleh ulama-ulama berikutnya, dimana hadits dhaif yang tidak seberapa kelemahannya dikelompokkan sebagai hadits hasan.

C. PERNYATAAN PARA IMAM MADZHAB UNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MENINGGALKAN YANG MENYALAHI SUNNAH

1. Imam Abu Hanifah rahimahullah (Imam Hanafi)

Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang teguh pada Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap taqlid/membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan beliau:

# “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.”

[Ibnu Abidin dalam Kitab Al-Hasyiah 1/63 dan Kitab Rasmul Mufti 1/4 dari kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila suatu Hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah Hadits. Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi Hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan: “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para imam lain pesan semacam itu]

# “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.”

[Ibnu ‘Abdul Barr dalam Kitab Al-Intiqa fi Dadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in II/309, Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq VI/293, dan Rasmu Al-Mufti hlm. 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan I/55 dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in VI/77/1 dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu: Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam Al-Iqazh hlm. 52. Ibnul Qayyim menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf II/344 dan memberi keterangan tambahan dalam Ta’liqnya terhadap Kitab Al-Iqazh hlm. 65, dikutip dari Ibnu ‘Abdul Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain]

# “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”

[Al-Filani dalam Kitab Al-Iqazh hlm. 50, menisbatkan kepada Imam Muhammad juga, kemudian ujarnya:
“Hal semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah merupakan sifat mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka, bahkan hal semacam ini merupakan sifat muqallid.”]

2. Imam Malik bin Anas (Imam Maliki)

Imam Malik bin Anas menyatakan:

# “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”

[Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam Kitabnya Ushul Al-Ahkam VI/149, begitu pula Al-Fulani hlm. 72]

# “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.”

[Di kalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu ‘Abdul Hadi dalam Kitabnya Irsyad As-Salik I/127. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam Kitab Al-Jami’ II/291, Ibnu Hazm dalam Kitab Ushul Al-Ahkam VI/145, 179, dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam Kitab Al-Fatawa I/148 dari ucapan Ibnu ‘Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata:
“Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri.”]

# “Ibnu Wahhab berkata: “Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki di dalam wudhu, jawabnya: ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata: “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya: ‘Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut.’ Dia bertanya: ‘Bagaimana Hadits itu?’ Saya jawab: ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dan Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya: Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Malik menyahut: ‘Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini.’ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu menyela-nyela jari-jari kakinya.”

[Muqaddimah Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya I/81]

3. Imam Syafi’i

Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya VI/118:
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi'i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti Hadits-Hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak."] dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung.
Beliau berpesan antara lain.

# "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku."

[HR. Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu 'Asakir XV/1/3, I'lam Al-Muwaqqi'in II/363-364, Al-Iqazh hlm. 100]

# "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu Hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang"

[Ibnul Qayyim II/361, dan Al-Filani hlm. 68]

# "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu"

[Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam III/47/1, Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i VIII/2, Ibnu Asakir XV/9/1, Nawawi dalam Al-Majmu' I/63, Ibnul Qayyim II/361, Al-Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya III/284, Al-Ihsan dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna]

# "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku"

[Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani I/57 dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107. Sya'rani berkata:
"Ibnu Hazm menyatakan Haditst ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain."]

# "Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya."

[Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi'i hlm. 94-95, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj VIII/1, diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau XV/9/1, Ibnu 'Abdil Barr dalam Intiqa hlm. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al-Harawi II/47/2 dengan tiga sanad, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i pernah berkata kepadanya: "..... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I'lam II/325 dan Fulani dalam Al-Iqazh hlm. 152." Selanjutnya, beliau berkata: "Baihaqi berkata: 'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu dari ulama Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq'. Beliau mengambil semua Hadits yang shahih menurut penilaiannya tanpa pilih kasih dan tidak bersikap memihak kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya." Semoga Allah mengampuni kami dan mereka."]

# "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati."

[Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107, Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam Al-I'lam II/363 dan Al-Filani hlm. 104]

# "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna."

[Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi'i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib I/234, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, dan Ibnu Asakir 15/10/1 dengan sanad shahih]

# "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku."

[Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu'aim dan Ibnu 'Asakir 15/9/2 dengan sanad shahih]

# "Setiap Hadits yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku."

[Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94]

4. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali)

Ahmad bin Hambal merupakan seorang iman yang paling banyak menghimpun Haditsts dan berpegang teguh padanya., sehingga beliau benci menjamah koitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu [Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hlm. 192 ]
Beliau menyatakan sebagai berikut :

# “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.

[Al- Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam II/302]

Pada riwayat lain disebutkan:

# “Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).” Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang daripara tabi’in boleh di pilih.

[Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277].

# “Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada Atsar (Hadits).”

[Ibnu Abdul Barr dalam Al-Jami’ II/149]

# “Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.

[Ibnu Jauzi hlm. 142]

D. WAJIBKAH TERIKAT PADA SATU MADZHAB SAJA?

1. Pendapat Mayoritas Ulama Ushul: Tidak Wajib Berpegang Pada Satu Madzhab Saja

Mereka mengatakan bahwa sorang muslim tidak diwajibkan untuk berpegang kepada satu imam saja dalam semua masalah dan kejadian dalam kaitannya dengan hukum syariah. Tetapi bila dia ingin bertaqlid kepada hanya salah satu di antara mujtahid / madzhab itu, dibolehkan.

Menurut mereka seseorang dibenarkan untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah, Al-Hanabilah dan madzhab fiqih lainnya. Tetapi tidak berarti dia harus terpaku secara terus menerus pada pendapat dalam madzhab itu saja.
Hal ini karena memang tidak ada perintah dari Allah maupun Rasul-Nya yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Yang ada justru perintah untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum, yaitu mereka yang memang memiliki kemampuan pemahaman syariat Islam, tetapi tidak harus terpaku pada satu orang atau madzhab saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

# “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

# “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya`: 7)

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan juga para tabi`in pun tidak terpaku pada satu pendapat saja dari ulama mereka. Mereka akan bertanya kepada siapa saja yang memang layak untuk memberi fatwa dan memiliki ilmu tentang hal tersebut.

Maka tidaklah pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah madzhab.

Bahkan pada hakikatnya, setiap madzhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga. Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi madzhab qadimnya dengan madzhab jadid.

Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah: “Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi madzhabku.” Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam madzhab itu sangat mungkin terjadi.

Bila di dalam sebuah madzhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.

2. Pendapat Yang Mewajibkan Berpegang Pada Satu Madzhab Saja

Meski demikian, kita juga tidak mengingkari adanya pendapat sebagian dari ulama ushul yang mewajibkan seseorang untuk berpegang kepada satu madzhab saja.

Dalilnya adalah bahwa seseorang wajib mengikuti apa yang menurutnya lebih rajih atau lebih mendekati kebenaran. Dan bila seseorang sudah yakin bahwa madzhab yang dianutnya itu yang paling rajih, maka tidak boleh baginya mencari pendapat di luar madzhabnya.
Untuk argumentasi mereka ini, kita bisa menjawab bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk harus selalu mengambil pendapat yang rajih. Terkadang untuk suatu kondisi darurat tertentu, kita masih dibolehkan untuk mengambil pendapat yang tidak rajih.

Dan mengenai kebolehan mengambil yang marjuh (mafdhul) dan meninggalkan yang rajih (afdhal), ada beberapa ketetapan para ulama ushul, antara lain:

# Al-Qadhi Atha’ bin Hamzah berkata,
Seorang qadhi boleh berpindah keluar madzhabnya oleh sebab darurat.”

# As-Shahkafi dalam Nash Ad-Dur Al-Mukhtar,
Seorang qadhi dibolehkan mengerjakan amal yang kurang masyhur dalam madzhabnya bila Sultan menetapkan hal itu.”

# Al-Mi’raj ‘An Fakhril Ummah:
Kebolehan amal dan fatwa dengan perkataan yang dhaif dalam keadaan darurat.”

# Ad-Dasuqi al-Maliki berkata,
Dibolehkan beramal dengan yang dhaif bagi seseorang untuk masalah dirinya atau juga dalam fatwa bila dipastikan adanya kedaruratan oleh mufti itu.

E. PANDANGAN AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT

1. Ketidak-Utamaan Perbedaan Pendapat

# "Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu." (QS. Al-Anfal: 46)

# "Janganlah kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar-Rum: 31-32)

# "Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhannya." (QS. Hud: 118-119)

# "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-An’am: 153)

2. Mencari Jalan Keluar Apabila Terjadi Perbedaan Pendapat

# "Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59)

# Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
Di kalangan orang-orang terdahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang, lalu dia mencari orang yang banyak ilmunya, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang rahib, lalu dia mendatanginya, kemudian dia katakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Rahib itu menjawab, Tidak bisa.” Laki-laki itu membunuh rahib tersebut, sehingga genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya.

Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya, lalu dia ditunjukkan kepada seorang yang alim (berilmu), kemudian dia mengatakan bahwa dia telah membunuh 100 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Orang alim itu menjawab, “Bisa. Tidak ada penghalang antara kamu dengan tobatmu. Pergilah ke daerah begini dan begini, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, lalu beribadahlah kepada Allah Azza wa Jalla bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu memang jelek.”

Laki-laki itu pergi. Sesampainya di tengah perjalanan dia mati, maka malaikat Rahmat berbantahan dengan Malaikat Adzab. Kata malaikat Rahmat, “Orang ini pergi untuk bertobat dengan menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.” Kata malaikat Adzab, “Orang ini tidak berbuat kebaikan sama sekali.”

Kemudian mereka didatangi oleh satu malaikat lain dalam wujud manusia, lalu mereka meminta keputusan kepadanya. Kata dia, “Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang mati ini dari tempat berangkatnya dan dari tempat tujuannya. Ke mana yang lebih dekat maka itulah keputusannya.” Ternyata hasil pengukuran mereka adalah bahwa orang yang mati tersebut lebih dekat ke tempat tujuannya, maka dia dalam genggaman malaikat Rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas menjelaskan kepada kita bahwa:

1. Para malaikatpun tidak terlepas dari perbedaan pendapat.
2. Perbedaan pendapat tidak dibiarkan berlangsung terus tanpa penyelesaian.
3. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan mengambil cara/pendapat yang terbaik/ter-shahih.

Jumat, 11 November 2011

VISI DAN MISI MAF 1 MRANGGEN DEMAK

VISI, MISI DAN TUJUAN
  • VISI
TERBENTUKNYA GENERASI ISLAM YANG BERWAWASAN IMAN DAN TAQWA, BERAKHLAKUL KARIMAH, BERPRESTASI DALAM PENDIDIKAN SERTA TERAMPIL BERBAHASA
  • MISI
    • Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan yang efektif sehingga potensi yang dimiliki peserta didik dapat berkembang secara optimal.
    • Mewujudkan pembentukan karakter peserta didik yang islami sehingga mampu mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.
    • Meningkatkan prestasi peserta didik baik akademik maupun non akademik.
    • Meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan.
    • Menciptakan suasana hubungan kekeluargaan antara Madrasah dengan masyarakat.
  • TUJUAN
    • Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pembelajaran Aktif.
    • Mengembangkan potensi akademik, minat dan bakat Peserta Didikmelalui layanan bimbingan dan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler.
    • Membiasakan peserta didik untuk dapat berperilaku yang Islami di lingkungan madrasah.
    • Meningkatkan prestasi akademik Peserta Didikdengan nilai rata-rata 7,5.
    • Meningkatkan prestasi peserta didik di bidang bakat dan minat melalui kejuaraan dan kompetisi.

SEJARAH PON-PES FUTUHIYYAH

Syekh Mushlih bin 'Abdur Rahman



Beliau wafat dan di makamkan di ma’la Makkah al Mukarromah di pemakaman yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dekat/di depan kompleks makam Sayyidatina Khodijah r.a, istri Rosulillah s.a.w. Jama’ah haji Indonesia dari Mranggen dan Demak banyak yang ziarah kepada beliau dengan bantuan mukimin setempat. Beliau wafat pada bulan syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk di lestarikan dan di kembangkan lebih lanjut. Dan Al-hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mranggen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa. Allahumma amiin.
I. Identitas Diri dan Keluarga 
Syeikh K.H Muslih bin Syeikh K.H Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah, asli/kelahiran suburan Mranggen Demak,pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh K.H Ustman bin Syeikh K.H Abdurrohman. Silsilah Syeikh K.H Muslih
Dari Ayah :
Muslih bin Abdurrohman din Qosidil haq bin R. Oyong Abdulloh Muhajir bin Dipo Kusumo bin P.Wiryo Kusumo / P.Sedo Krapyak bin P.Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin P. Agung atau NotoProjo bin P.Sabrang bin P. Ketib bin P. Hadi bin K. S. Kali jogo,hingga Ronggolawe adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Saayyidina Abbas r.a paman Rasulullah s.a.w. Dari Ibu :
Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh hingga bersambung pada ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro I / R. Fatah bin R. Kertowijoyo / Darmokusumo Brawijaya I Raja Majapahit. Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah puteri K. S Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri K.S Ampel Surabaya, Dzuriyyah Rasulullah s.a.w. Syeikh K.H Muslih Abdurrahman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti K.H Siroj dan berputra :
1.              Al-Inayah, istri Syeikh K.H. Mahdum Zein.
2.           K.H. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk sebagai pengasuh utama I pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi.
3.              Faizah, istri Syeikh K.H. Muhammad Ridhwan.
4.             K.H Muhammad Hanif Muslih L.c sebagai pengasuh utama II pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi.
5.              Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil.
Setelah Nyai Marfu’ah wafat tahun 1959 Masehi, Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh / Al-Hamilah bin K.H. Muhsin ( ayah K.H. Muhibbin Al-Hafid, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen ) dan berputra :
1.              Qoni’ah istri K.H. Masyhuri, B.A.
2.              Masbahah, istri Syeikh K.H Abdurrahan Badawi / Syeikh Dur.
Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh K.H Muslim Abdurrahman menikah lagi dengan Nyai. Sa’adah binti H. Mahhmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur allah husnil khotimah fi tho’atillah fil alwi wal afiyah wassalamah was sa’adah fi daruun-min fadllillah wa rohmatillah Allahuma amiin.Begitu pula keluarga dan dzuriyyah syeikh K.H muslih, bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang- cabangnya, para muhibbin beliau beliau erikut para pejuang Fi Sabillillah termasuk K.Habdurrahman Wahid (GUS Dur Presiden R.I ) dan keluarga masing-masing. Allahumma amiin.           II. PENDIDIKANNYA 
Pendidikan Syeikh K.H. Muslih bin Abdurrahman, diperoleh dari :         1.Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq.
2.Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh K.H. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, disamping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau.
3.Belajar di pondok pesantren Mangkang kulon.
4.Belajar di pondok pesantren Sarag Rembang milik Syeikh K.H. Zuber dan Syeikh Imam, disini beliau sambil belajar / santri kalong kepada Syeikh K.H Maksum, Lasem Rembang.
5.Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan.
6.Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di banten yaitu Syeikh Abdul Latif Al- Bantani
7.Belajar kepada Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky di Mekah.
8.Belajar ilmu Ekonomi dan dagang.
9.Belajar ilmu kemiliteran.
Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikgh K.H.Muslih bin Aburrahman termasuk Ulama’ Allamah Ahli ilmu-Kalam Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balaqhoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh) Ahli Ilmu-Klam /Tauhid., Ahli Ilmu Tasawwuf –Ahli Ilmu Thoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan, Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah Ilmu Jihad fi sabillillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh ksrns itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah Bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi peryaratan sebagai guru Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh syyaidina Syeikh Abdul Qodir Al –Jaelani, r.a, yang mana seorang mursyid itu seharusnya : 1.Memiliki Ilmu Ulam’ ( Ahli Agama Islam )
2.Memiliki Ilmu Siasah ( Politik Pemerintahan ).
3.Memiliki Ilmu Hikmah ( Kebijaksanaan Ahli Hukum Islam ).
Syeikh K.H. Muslih teryata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan ilmu Tafsirnya, Hadist dan ilmu Muthola’ah Hadistnya ilmu fiqh dan Hilafayahnya, ilmu Usuluddin ( ilmu kalam ) dan ilmu Ushulul Fiqh, ilmu Qiro’ah / Tawid, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Ma’ani, ilmu Bayan Badi’, ilmu arudl, ilmu Qowafi, ilmu Matiq dan ilmu tasawwuf / ilmu Thoriqoh. Ilmu – ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmuthoriqoh / ilmu Tasawwuf. Disamping ilmu-ilmu tersebut Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman diwaktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabitan Islamy maupun do’a-do’a / aurrod yang khusus, tersasuk aurod khusus untuk memdapatkan Ilmu yang bermanfa’at lagi barokah. Ilmu yang manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri ( dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolahnya, sebab fadlol dan rhmat Allah s.w.t ). Sedang ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, baik melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain ). Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik ( guru yang berhasil ) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal ( madrasah ) saat beliau mondok di Termas, Pacitan. Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh K.H. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen,selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki ( dalam setahun kerja, teryata tidak laba dan tidak rugi ) setelah itu beliau berangkat ke Terma memenuhi perintah Syeikh K. H. Maksum Lalem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
III. PERJUANGAN  
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selain berjuangan demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang islami, ternyata beliau juga berjuang fisabilillah di sisi yang lain, yaitu : 1.Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk Pengajian dan Bai’at Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah .
2.Mendirikan / menyelenggarakan Pendidikan Masdrasah/ Sekolah Futuhiyyah
3.Menjadi Pengasuh Utama Pon-Pes Futuhiyyah
4.Memperluas lokasi / Areal Pondok Pesantren
5.Merehab dan membangun Prasarana Pondok Pesantren, termasuk membangun Masjid An-Nur dikonplek Pon-Pes Futuhiyyah.
6.Menjadi Anggota Pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen
7.Menjadi Pengurus Jam’iyyah N.U
8.Menjadi Komandan Barisan Sabilillah, sektor Semarang Timur.
9.Ikut Mendirikan dan menjadi pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia.
10.Mendirikan dan menjadi Pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Nahdiyyah
11.Mendirikan Madrasah Aliyah Persiapan F.H.I UNNU Mranggen
12.Mendirikan F.H.I UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
13.Mendirikan atau menyelenggarakan Madrasah dan Sekolah Formal. IV. MENJADI PENGASUH PON-PES FUTUHIYYAH 
Sebelum Syeikh K.H. Muslih mondok kembali di Pondok Pesantren Termas, beliau sempat mukim dirumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di Pondok Pesantren Sarang. Pondok Pesantren yang telah direhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh K.H. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi berhenti, setelah diminta oleh N.U cabang Mranggen . Akhirnya Syeikh K.H. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di konplek Pon-Pes Futuhiyyah dengan tikat tidak boleh diminta oleh N.U lagi. Jika N.U ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri. Selang beberapa waktu, Pon-Pes Futuhiyyah mendirikan Madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh N.U. Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, Murid dan Gurunya di pindah tempat, yang kemudian dikelola oleh N.U Cabang Mranggen dan dua Kali pula terhenti. Setelah Madrasah yang didirikan oleh Syeikh K.H. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan oleh adik beliau, yaitu Syeikh K.H. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tak boleh dipindah lagi, karena beliau akan Mondok lagi ke Termas. N.U. cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah. Syeikh K.H. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas di ajar oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (kelas Alfiyyah Ibnu Malik). Semula Syeikh K.H. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh K.H. Ali Maksum. Setelah itu, Beliau akhirnya bersedia. Namun Ternyata Syeikh K.H. Ali Maksum hanya sekali mengajar Syeikh K.H. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, lalu beliau menghilang. Dengan berat hati Syeikh K. H. Muslih mengajar dikelas yang ditinggalkan Syeikh K.H . Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh K.H. Ali Maksum Baru muncul dan bertanya kepada murid – murid kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadt baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh K.H. Muslih di tetapkan guru kelas tersebut. Suka duka Syeikh K.H. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh K.H. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya di rawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh K.H. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Al-Hamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan M.I, karana pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyyah yang diselenggarakan pada pagi hari. Mengenai bagaimana tekhnis pengumuman P.M.B yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jenis santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.
Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santri mukimnya semakin bertambah ( antara 300 – 400 orang ), di samping santri lajo yang masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetinan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh K.H. Muslih dikenal sebagai Kiai yang enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin, termasuk Syeikh K.H. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero Jawa Tengah,dan sebagainya.
Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadlol dan rohmat Allah s.w.t. yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah Ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadloh, termasuk dzikir thoriqoh, khususnya Syeikh K.H. Ibrohim. Yahya Brumbung, Syeikh K.H. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh K.H. Hadi Giri Kusumo, Syeikh Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir Al0Jaelani r.a dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan / pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesanten termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring pribadi beliau menggerakkan pulapartisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik dalam bentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber – sumber yang lain berasal dari sumbangan pemerintah. Pada masa hidup beliau, partisipasi santri besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah, sebagai pengalaman ilmu, ikut andil dalam jariyyah, bersatu dan bergotong royng secara ikhlas merealisasi program pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah s.w.t. Untukkeperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelak

Syekh KH. Hanif Mushlih
Berawal dari perdebatan dengan kawannya, ulama yang satu ini mulai menulis buku unik, yang menjadikan rujukan lawannya sebagai bahan “memukul” balik. Buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah peribahasa yang tepat disematkan kepada kiai yang satu ini. Mewarisi tradisi ayah, paman dan kakaknya, ia adalah mursyid salah satu thariqah besar. Ia juga mewarisi keterampilan dan kegemaran ayahnya menulis risalah-risalah agama yang kemudian dibukukan. Karya-karyanya menyoroti topik-topik yang menjadi perdebatan dalam umat Islam, seperti tahlilan, tarawih, ziarah kubur dan sebagainya. Uniknya, dalam membela masalah-maalah “kontroversial” tersebut ia mengedepankan sumber-sumber yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh kalangan yang menentangnya. Menurutnya, kalangan yang anti terhadap ritual kaum nahdliyyin selama ini bertindak tidak adil, karena dalam mengutip pendapat para ulama salaf hanya mengambil bagian-bagian yang menguntungkannya saja. Sedangkan keterangan pendapat berikutnya yang lebih luas justru diabaikan karena menolerir pendapat yang dijadikan rujukan oleh kaum nahdliyyin. Sukses dengan enam buku pertamanya, saat ini ia tengah menyelesaikan penulisan buku tentang tawassul. Tentu dengan mengedepankan sumber-sumber dari ulama yang sebelumnya dicap anti tawassul.
Cukup menarik sekali apa yang dilakukan oleh sanga kiai di sela-sela kesibukannya mengasuh sebuah pesantren besar, membimbing murid-murid thariqahnya dan menjadi anggota legislatif di propinsinya. Siapakah ulama yang kreatif tersebut? Dialah K.H. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, jawa Tengah, yang juga mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Diwawancarai alKisah di rumahnya yang terletak di tengah kompleks Pesantren Futuhiyyah, kiai yang nada bicaranya lembut ini bertutur panjang lebar tentang latar belakang penulisan buku-bukunya, kiprah keulamaannya serta sekelumit perjalanan hidupnya. Penulisan buku pertamanya yang mengangkat topik tahilan, kenang Kiai Hanif, berawal dari kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah kawannya semasa mengaji di Pesantren Futuhiyyah. Sang tamu yang juga pernah menjadi menantu pamannya itu bertanya, “Di Arab Saudi ada tahlilan atau tidak?” Kiai Hanif yang alumnus Universitas Madinah itu terkejut dan mencoba membaca tujuan pertanyaan tersebut. “Sebenarnya sampeyan menanyakan tentang tahlilan, seperti yang lazim di negeri kita ini, atau tentang sampainya hadiah pahala mayyit?,” sang tuan rumah bertanya balik.
Perdebatan Tertulis 
Akhirnya sang tamu mengaku, bahwa inti pertanyaannya adalah yang kedua, tentang sampaikah hadiah pahala untuk orang meninggal. Kiai Hanif pun lalu menjelaskan, bahwa tahlilan dalam arti membaca La ilaha illallah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang meninggal juga diamalkan oleh sebagian besar golongan di Saudi. Mendengar jawaban itu sanga tamu pun membantah dan terjadilah perdebatan sengit hingga larut malam. Belum puas dan tuntas, perdebatan berlanjut hingga beberapa malam berikutnya. Pendengaran sang tamu yang sudah agak terganggu membuat Kiai Hanif harus bersuara keras dalam menjelaskan pendapatnya. Giliran Istri Kiai Hanif yang protes, anak mereka yang masih kecil tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara keras mereka. Akhirnya kiai Hanif memutuskan untuk menulis penjelasannya secara panjang lebar dalam sepucuk surat.
Melalui surat menyurat, perdebatan pun kembali berlanjut dengan seru, sampai akhirnya sang tamu menyerah, dan menyudahi perdebatan itu. “Sudahlah, Kang. Sekarang kita beramal menurut keyakinan masing-masing. Yang jelas keyakinan saya ini mengacu kepada ulama anu, anu dan anu,” katanya dengan nada merendahkan. Kiai Hanif tidak terima dengan nama-nama ulama yang dicatut sang teman sebagai narasumbernya. Dengan penasaran ia lalu melacak kitab rujukan sang lawan, memfotokopi pendapat para ulama yang disebut-sebut dan mempelajarinya dengan lebih seksama. Hasilnya? “Ternyata kebanyakan mereka hanya mengutip ucapan para ulama hanya pada bagian yang mendukung pendapatnya saja. Sementara sisa keterangannya yang mendukung aktivitas tahlil dipotong dan dianggap tidak ada,” kata Kiai Hanif. Belakangan hasil kajian dan penulusurannya tentang dalil-dalil tahlil dan pendapat para ulama tersebut sering dipinjam rekannya sesama kiai untuk dijadikan bahan rujukan diskusi. Karena kerap berpindah-pindah tangan dan dikhawatiran hilang, akhirnya Kiai Hanif memutuskan untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Kebetulan ketika itu Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI), organisasi persatuan pesantren NU, bersedia mencetaknya. Sukses dengan buku pertama, Kiai Hanif pun mulai ketagihan mengkaji dan menulis tema-tema serupa. Ketika ada orang yang bertanya tentang hukum tarawih dua puluh rakaat, misalnya, ia pun menjawabnya dengan menulis sebuah buku. Tentu dilengkapi dengan kutipan pendapat para ulama yang dianggap menentang praktik tarawih 20 raka’at, yang tanpa potongan di sana-sini.Sejak itu berturut-turut ia menulis beberapa buku lagi. Dan saat ini ia tengah menyelesaikan buku terahirnya yang mengupas kontroversi seputar masalah tawassul. Dari pengalamannya menulis, Hanif menyimpulkan, “Kelemahan kita ini adalah karena sering menggampangkan segala urusan. Pokoknya kalau sudah diajarkan dan diamalkan oleh kiainya, dianggap cukup. Tanpa perlu ikut menyusuri dasar hukumnya, atau taqlid buta.” Ditambah lagi kebanyakan kiai juga nggampangke, tambahnya. Kalau mengutip kitab cukup dengan mengambil pendapat ulamanya, tanpa menukilkan dasar Al-Quran dan haditsnya. “Makanya dalam forum bahtsul masail saya selalu mengusulkan untuk mencantumkan juga dasar hukum dari Al-Quran dan haditsnya. Biar anak-anak kita nggak mudah tergoda oleh kelompok yang menganggap kita sesat dengan dalih pendapat kita lemah karena hanya berdasarkan keterangan ahli fiqih. Sementara pendapat mereka lebih kuat karena langsung mengambil dari Al-Quran dan hadits. Padahal, kitab fiqih adalah penjabaran dari hukum Al-Quran dan hadits,” kata Kiai Hanif bersemangat. Dicekoki Paham Wahhabi
Berbincang-bincang dengan Kiai Hanif Muslih memang sangat menyenangkan. Wawasannya yang luas ditopang dengan pengetahuan agamanya yang dalam. K.H. Muhammad Hanif lahir di Mranggen pada bulan Desember 1955 sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara putra pasangan K.H. Muslih Abdurrahman dan Nyai Hj. Marfu’ah. Ayahnya adalah ulama besar pada era 1950an hingga wafatnya pada tahun 1981. Mbah Muslih juga pernah menduduki posisi rais ‘am di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman), organisasinya para pengamal thariqah di tanah air. Meski anak ulama pengasuh pesantren, oleh orang tuanya pendidikan dasar agama Hanif kecil lebih banyak diserahkan kepada para pengajar madrasah di lingkungan pesantrennya. Hanya setiap bulan Ramadhan, Hanif mengikuti pengajian kitab yang diasuh langsung oleh sang ayah di masjid Pesantren Futuhiyyah. Kelas duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah, Hanif diajak kakak iparnya, Kiai Muhammad Ridwan untuk menunaikan ibadah haji, dengan menumpang kapal laut. Tepat ketika usai menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji, Hanif menerima surat dari sang ayah yang memerintahkannya untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Namun karena waktu masa penerimaan murid baru baru saja usai, terpaksa Hanif harus menunggu tahun ajaran baru berikutnya. Selama hampir setahun itu ia menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai sekretaris seorang syaikh yang memiliki usaha pengelolaan haji di siang hari. Di rumah sang syaikh itu pula Hannif tinggal bersama beberapa kawan Indonesianya. Dan malam harinya, usai shlat maghrib, ia mengikuti pengajian Tafsir Ibnu Katsir di Babussalam, Masjidil Haram yang diasuh oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Tahun 1976 Hanif mendaftarkan diri di Universitas Madinah dengan ijazah Madrasah Aliyah Futuhiyyah yang dikirimkan ayahnya. Namun sayangnya, almamaternya waktu itu belum mu’adalah (disetarakan) di Saudi. Karena itu ia harus mengulang sekolah lagi selama setahun di kelas tiga Madrasah Aliyyah Madinah. Baru pada tahun berikutnya, 1977, ia bisa masuk Universitas Madinah. Bersamaan dengan Hanif ada lima alumnus Pesantren Futuhiyyah lain yang diterima di Universitas Madinah. Kebetulan kelimanya juga berasal dari daerah Mranggen. Mereka pun lalu bersepakat akan mengambil jurusan yang berbeda-beda, agar saat kembali ke tanah air nanti akan bersama-sama memperkaya pesantren almamater dengan keilmuan yang beragam. “Ternyata, setelah pulang ke tanah air, semua teman-teman saya diambil menantu oleh para kiai dari berbagai daerah. Tinggal saya saja yang masih tinggal di Mranggen,” kenang Kiai Hanif sambil terkekeh.. Dalam rembugan itu, Hanif sendiri kebagian tugas mengambil jurusan Bahasa Arab, yang terus digelutinya hingga meraih gelar Lc. Banyak hal berkesan yang dialami Kiai Hanif ketika belajar di negeri yang dikuasai oleh kelompok Wahhabi. Di antaranya adalah upaya mencekoki mahasiswa dengan paham Wahhabi. Untungnya, menurut Kiai Hanif, waktu itu masih banyak dosen di Universitas Madinah yang non wahhabi dan berasal dari luar Saudi. “Hanya mata kuliah aqidah saja diampu oleh dosen-dosen asli Saudi yang berpaham Wahhabi, Itu pun mata kuliahnya jarang diminati oleh mahasiswa, karena cara mengajar mereka rata-rata kurang enak,” ungkapnya kemudian.
Pilihan Allah 
Kebetulan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kampus saat itu juga belum seketat sekarang. “Jaman saya dulu masih ada organisasi KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang diantara kegiatannya adalah tahlilan, barzanjen dan manaqiban,” kenangnya. Usai menyelesaikan program S1-nya, Hanif pulang ke tanah air pada bulan Desember 1982 untuk membantu kakaknya, K.H. Luthfi Hakim, mengasuh pesantren Futuhiyyah. Kebetulan setahun sebelumnya, 1981, ayah mereka wafat di Tanah Suci ketika tengah menunaikan umrah Ramadhan. Tak ingin nantinya pusing mencari pendamping hidup, sebelum pulang ke tanah air Hanif pun berpesan kepada sang kakak untuk mencarikan jodoh baginya. Alhamdulillah, kata Kiai Hanif, proses itu tidak memakan waktu lama. Ketika ia tiba di tanah air seorang calon istri sudah menunggunya. Dan tepat bulan maret 1983 ia pun dinikahkan dengan Fashihah gadis asal kendal yang sedang nyantri di Jombang.
Dari perkawinan tersebut Kiai Hanif dianugerahi empat anak yang mewarisi semangat belajarnya yang menyala-nyala. Dalam mendidik anak, Kiai Hanif mengikuti tradisi keluarganya. Dari tingkat MI sampai MTs harus di Futuhiyyah, setelah baru anak-anaknya disuruh nyantri di pesantren lain. “Terserah mereka maunya di mana. Kalau ternyata belum ada gambaran, biasanya saya ajak mereka keliling ke pesantren-pesantren sambil melihat-lihat.” Kiai Hanif mengaku tidak mau memaksakan kehendak kepada anak, apalagi memaksa mereka menjadi ulama. “Menjadi ulama atau tidak itu adalah pilihan Allah. Tugas saya sebagai orang tua hanya membekali anak dengan ilmu dan mengarahkan,” kata Kiai Hanif bersungguh-sungguh. Sebagai putra ulama besar yang terkenal di Nusantara, banyak kenangan berkesan yang dialami Hanif bersama sang ayah. Hal yang paling berkesan dari ayahnya yang ulama sufi adalah kedisiplinan dan kewira’iannya. Kiai Muslih, menurut Hanif, sangat tidak menyukai gemerlap kehidupan dunia. “Seumur hidupnya Abah tidak pernah terdengar bernyanyi. Beliau juga tidak mau memiliki televisi, karena takut melenakannya dari Allah SWT,” kenang Kiai Hanif. “Jika belakangan Mbah Muslih menyuruh saya membeli radio, hal itu tidak lain karena setiap bulan Ramadhan beliau ingin mendengarkan adzan maghrib langsung dari Masjid Jami’ Baiturrahman, Semarang, yang selalu direlay oleh RRI.” Pernah juga suatu ketika Hanif yang sedang menunggu abahnya pulang mengajar di masjid bernyanyi-nyanyi di ruang tamu. Tanpa ia sadari, ayahnya masuk dan terus memandanginya tanpa ekspresi marah. Dengan lembut Mbah Muslih berucap, “Opo kowe wis ora eling mati, Le? (Apa kamu sudah tidak ingat mati, Nak?)”. Meski dikenal sebagai ulama yang linuwih dan waskita, ayahnya juga tidak pernah mengajarkan ilmu yang macam-macam kepada para santri apalagi keluarga. Ketika terjadi gegeran tahun 1966-1970, misalnya, banyak kiai yang mengijazahkan ilmu hikmah kepada santri-santrinya. Namun tidak dengan Kiai Muslih. Ulama sufi itu hanya menganjurkan santri-santrinya untuk memperbanyak berdoa memohon perlindungan kepada Allah. 
Gudang Ilmu Hikmah 
Namun sebagaimana anak-anak seusianya, Hanif sangat penasaran terhadap ilmu hikmah. Karena tidak berani meminta kepada ayahnya, ia pun mengikuti teman-temannya berguru ilmu kanuragan kepada beberapa kiai ahli hikmah yang tinggal di sekitar Mranggen. Lucunya, begitu tahu Hanif adalah anak Kiai Muslih Mranggen, tak ada satu pun kiai yang mau memberikan ijazahnya kepada bocah itu. “Minta saja sama ayahmu,” kata mereka, “Beliau itu gudangnya ilmu hikmah.” Betapa sedihnya Hanif mendengar penolakan itu. Untungnya tak lama kemudian desanya kedatangan tamu, seorang kiai ahli hikmah dari Jawa Timur, yang mau memberikan ijazah berbagai ilmu hikmah kepada siapa saja. Dengan semangat Hanif lalu ikut berguru. Ia mendapat ijazah sebuah amalan yang harus disertai puasa. Tak disangka, ternyata lelakonnya itu ketahuan sang abah. Hanif pun dipanggil ke kamar pribadi Kiai Muslih dan dimarahi. “Kalau kamu senang mempelajari ilmu hikmah, nanti abah sendiri yang akan menjajal ilmu kamu,” bentak Kiai Muslih. Tentu saja wajah Hanif langsung pucat pasi karena ketakutan. “Ilmu hikmah itu tidak usah dipelajari,” lanjut Mbah Muslih. “Yang penting sekarang kamu belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan sebaik-baiknya. Setelah menjadi orang alim, lalu kamu mengajar agar ilmumu mendapat keberkahan. Setelah itu insya Allah semua ilmu hikmah akan datang sendiri.” Uniknya, meski marah, Kiai Muslih tidak menyuruh Hanif menghentikan puasanya. Sebaliknya, Sang Allamah justru menambah sebuah wirid yang dimaksudkan sebagai penyeimbang amalan ilmu hikmahnya tersebut. Ketika disinggung mengenai aktivitas kethariqahannya, Kiai Hanif mengaku sudah ditawari untuk berbai’at oleh ayahnya sejak ia masih kuliah di Madinah. Namun waktu ia yang merasa belum siap menolak tawaran abahnya. Ketika sang ayah wafat, dan Hanif pulang ke tanah air, kakaknya, Kiai Luthfi Hakim juga menawarinya untuk dibai’at. Namun lagi-lagi Kiai Hanif menolak karena merasa belum siap. Ia merasa sebagian besar waktunya saat itu habis untuk mengurus Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI) Jawa Tengah yang selama tiga periode dipimpinnya. “Selain itu, saat itu juga saya merasa masih banyak maksiat,” ungkap Kiai Hanif merendah. Sejak pulang dari Madinah, Kiai Hanif dan Kiai Luthfi memang berbagi tugas. Sang kakak konsentrasi di dalam pondok mengurus santri dan thariqah. Dan Hanif yang kebagian tugas urusan luar pesantren dan masalah keumatan. Namun pada tahun 2003, tepat dua tahun sebelum Kiai Luthfi wafat, Hanif dipanggil sang kakak dan diultimatum, “Mau atau tidak mau, sekarang juga kamu saya bai’at.” Kiai Hanif yang sudah merasa semakin tua dan lebih tenang pun menerima. Ia menjalani tarbiyyah (pendidikan sufistik) dari sang kakak dan pamannya K.H. Ahmad Muthohhar yang juga diangkat sang ayah menjadi mursyid. Tak lama menjalani tarbiyyah, Hanif telah dianggap cukup dan diangkat menjadi khalifah, kemudian mursyid penuh.
Mursyid Pengganti
Meneruskan tradisi ayahnya, yang menjelang wafat mengangkat adiknya K.H. Ahmad Muthohhar Abdurrahman, putranya K.H. Luthfil Hakim, dan menantunya K.H. Makhdum Zein. K.H. Muhammad Ridwan, dan Kiai Abdurrahman Badawi sebagai pengganti, tak lama setelah dua mursyid seniornya wafat Kiai Hanif juga mengumpulkan keponakan-keponakannya. Lima ustadz muda yang merupakan putra lima mursyid sebelumnya itu ditawari untuk dibai’at dan dididik menjadi calon mursyid pengganti. Namun diantara kelimanya hanya K.H. Said Lafif bin Luthi Hakim saja yang bersedia, sementara yang lain mengaku belum siap. Baru belakangan, putra K.H. Ahmad Muthohhar menyusul. Maka jadilah tiga mursyid itu yang secara bersamaan meneruskan tradisi kethariqahan Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Mranggen. Selain membimbing di pesantrennya, belakangan Kiai Hanif juga sering menghadiri undangan murid-muridnya, untuk memimpin tawajjuhan (penhgajian thariqah) dan membai’at murid-murid baru. Saat ini murid TQN Mranggen memang telah tersebar hingga ke pulau-pulau lain di Nusantara, terutama Sumatera. “Saya cuma meneruskan langkah Kiai Luthfil Hakim,” kata Kiai Hanif. Dalam kehidupan modern ini, menurut Kiai Hanif Muslih, setiap orang idealnya masuk ke dalam salah satu thariqah yang mu’tabarah. Sebab seiring kemajuan zaman, problematika kehidupan yang dihadapi umat islam menjadi semakin kompleks. “Dan dalam banyak kompleksitas itu menyebabkan banyak orang yang menderita stress. Di sinilah thariqah menawarkan sebuah solusi kedamaian dan ketentraman dengan pendekatan diri kepada Allah,” tutur Kiai Hanif. Demikianlah sekelumit lagi tentang ulama unik dari pesantren, yang terus berkarya dalam ruang lingkup yang semakin sempit dikepung kemajuan zaman. Menutup perbincangan siang itu, Kiai Hanif berharap, thariqah akan semakin banyak diamalkan dan akan semakin menentramkan jiwa banyak orang. Amin.
Sejarah Pon. Pes. FUTUHIYYAH
A.     PERIODE AWAL
Didirikan oleh Simbah KH. Abdurrahman bin Qosidil Haq bin Abdullah Muhajir, kurang lebih pada tabun 1901. Secara outentik tahun berdirinya belum dapat dipastikan, karena tidak ditemukan data yang kongkrit. Hanya saja menurut cerita orang-orang tua, bahwa pada hujan abu akibat meletusnya gunumg Kelud di permulaan abad 20, Pondok Pesantren Futuhiyyah sudah berdiri, walaupun santrinya masih relatif sedikit, hanya dari daerah Mranggen dan sekitamya. Mereka datang ngaji ke Pondok hanya pada malam hari karena pada pagi harinya harus pulang kerumah untuk membantu orang tua mereka, oleh  karena itu disebut santri kalong. Bermula hanya sebuah surau ( langgar ) yang sebagian digunakan untuk tempat ibadah, mengaji dan musyawarah, sebagian lagi digunakan tempat tinggal oleh santri.
Mereka belajar secara sederhana dan traditional sekali, Yang diajarkan pada mulanya hanya : membaca Al-Qur'an, fashalatan, kitab-kitab tatjamah atau kitab makna gandul, membiasakan bacaan Maulud Diba' - Barzanji, bimbingan untuk mempraktekkan tasawwuf dengan melakukan dzikir ala Thariqoh Qodiriyah wa-n Naqsyabandiyah dan diajak berguru kepada Simbah KH. Ibrahim bin H. Thohir Surodadi Menggolo, Brumbung (KH. Abdurrahman adalah badal Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah simbah KH. Ibrahim).
B.    PERODE PERTENGAHAN
Simbam. KH. Abdurrahman mengasuh Pondok Pantren Futuhiyyah hingga akhir hayatnya pada tahun 1942 { peringatan hari wafat “Haul” nya diselenggarakan setiap tanggal 12 Dzulhijjah }.
Tahun 1926 bertepatan dengan lahimya Nahdlatul Ulama di Surabaya yang diikuti dengan berdirinya cabang NU di daerah Demak, KH Utsman Abdurrahman dengan bantuan beberapa teman pengurus NU Mranggen, mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah.
Mulai Tahun 1927 tanggung jawab pengelolaan Pondok Pesantren yang sudah mendirikan pindidikan formal tersebut diserahkan kepada putera-putera beliau. Dan beliau masih membimbing, mengarahkan dan mengontrol, Hal tersebut  beliau lakukan, karena diharapkan untuk menjadikan mereka sebagai kader-kadet yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat mengharumkan nama baik agama, nusa, bangsa dan keluarga. Dan putera yang pertama kali beliau serahi estafet kepemimpinan ialah putera sulung beliau, yaitu KH. Utsman Abdurrahman sepulangnya dari Pondok Pesantren KH. Ma’shum Lasem, Rembang,
Pada awalnya KH. Utsman masih mempunyai banyak waktu untuk mengurus Pondok Pesantren maupun Madrasah dan sekaligus mengurus Jam'iyah Nahdlatul Ulama Cabang Mranggen, namun sete1ah urusan NU semakin menuntut pengabdiannya lebih banyak, terutama dalam pembinaan generasi muda dengan menyelenggarakan pelatihan silat dan kesenian rodatan serta tabligh ke desa desa pedalaman, akhimya urusan Pondok Pesantren dan Madrasah beliau serahkan kepada adiknya ; KH. Muslih Abdurrahman ( putera kedua KH. Abdlurrahman ) yang kebetulan saat itu sedang liburan dari Pondok Pesantren Sarang Rembang. Selama dua tahun ; 1931-1932, KH. Muslih Abdurrahman harus mengemban amanat yang diberikan Orang tua dan kakaknya untuk mengelola dan mengembangkan Pondok Pesantren dan Madrasah.
Semangatnya yang tinggi dalam menuntut dan mendalami iImu membuat KH. Muslih Abdurrahman setelah mengejawantah Pondok Pesantren dan Madrasah selama 2 tahun, beliau kembali ke Pondok Pesantren Termas, dan untuk pengelolaan Pondok dan Madrasah diserahkan kepada adiknya : KH. Murodi Abdurrahman (Putra ketiga KH. Abdurrahman).
Sedangkan KH. Ustman juga mendirikan Pondok Pesantren sendiri khusus putri, yang terletak di JaIan Raya Mranggen dengan nama ANNURIYAH. Dibawah kepemimpinan KH. Muslih yang kedua inilah, Pondok Pesantren Futuhiyyah setapak demi setapak mulai berkembang dan mulai menjadi tujuan para santri dari berbagai daerah yang menetap/mukim di pondok. Kamar ( gothaan ) santri mulai dibangun dan didirikan, Langgar (surau/Musholla) dibangun menjadi Masjid.