Jumat, 11 November 2011

SEJARAH PON-PES FUTUHIYYAH

Syekh Mushlih bin 'Abdur Rahman



Beliau wafat dan di makamkan di ma’la Makkah al Mukarromah di pemakaman yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dekat/di depan kompleks makam Sayyidatina Khodijah r.a, istri Rosulillah s.a.w. Jama’ah haji Indonesia dari Mranggen dan Demak banyak yang ziarah kepada beliau dengan bantuan mukimin setempat. Beliau wafat pada bulan syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk di lestarikan dan di kembangkan lebih lanjut. Dan Al-hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mranggen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa. Allahumma amiin.
I. Identitas Diri dan Keluarga 
Syeikh K.H Muslih bin Syeikh K.H Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah, asli/kelahiran suburan Mranggen Demak,pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh K.H Ustman bin Syeikh K.H Abdurrohman. Silsilah Syeikh K.H Muslih
Dari Ayah :
Muslih bin Abdurrohman din Qosidil haq bin R. Oyong Abdulloh Muhajir bin Dipo Kusumo bin P.Wiryo Kusumo / P.Sedo Krapyak bin P.Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin P. Agung atau NotoProjo bin P.Sabrang bin P. Ketib bin P. Hadi bin K. S. Kali jogo,hingga Ronggolawe adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Saayyidina Abbas r.a paman Rasulullah s.a.w. Dari Ibu :
Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh hingga bersambung pada ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro I / R. Fatah bin R. Kertowijoyo / Darmokusumo Brawijaya I Raja Majapahit. Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah puteri K. S Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri K.S Ampel Surabaya, Dzuriyyah Rasulullah s.a.w. Syeikh K.H Muslih Abdurrahman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti K.H Siroj dan berputra :
1.              Al-Inayah, istri Syeikh K.H. Mahdum Zein.
2.           K.H. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk sebagai pengasuh utama I pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi.
3.              Faizah, istri Syeikh K.H. Muhammad Ridhwan.
4.             K.H Muhammad Hanif Muslih L.c sebagai pengasuh utama II pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi.
5.              Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil.
Setelah Nyai Marfu’ah wafat tahun 1959 Masehi, Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh / Al-Hamilah bin K.H. Muhsin ( ayah K.H. Muhibbin Al-Hafid, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen ) dan berputra :
1.              Qoni’ah istri K.H. Masyhuri, B.A.
2.              Masbahah, istri Syeikh K.H Abdurrahan Badawi / Syeikh Dur.
Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh K.H Muslim Abdurrahman menikah lagi dengan Nyai. Sa’adah binti H. Mahhmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur allah husnil khotimah fi tho’atillah fil alwi wal afiyah wassalamah was sa’adah fi daruun-min fadllillah wa rohmatillah Allahuma amiin.Begitu pula keluarga dan dzuriyyah syeikh K.H muslih, bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang- cabangnya, para muhibbin beliau beliau erikut para pejuang Fi Sabillillah termasuk K.Habdurrahman Wahid (GUS Dur Presiden R.I ) dan keluarga masing-masing. Allahumma amiin.           II. PENDIDIKANNYA 
Pendidikan Syeikh K.H. Muslih bin Abdurrahman, diperoleh dari :         1.Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq.
2.Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh K.H. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, disamping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau.
3.Belajar di pondok pesantren Mangkang kulon.
4.Belajar di pondok pesantren Sarag Rembang milik Syeikh K.H. Zuber dan Syeikh Imam, disini beliau sambil belajar / santri kalong kepada Syeikh K.H Maksum, Lasem Rembang.
5.Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan.
6.Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di banten yaitu Syeikh Abdul Latif Al- Bantani
7.Belajar kepada Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky di Mekah.
8.Belajar ilmu Ekonomi dan dagang.
9.Belajar ilmu kemiliteran.
Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikgh K.H.Muslih bin Aburrahman termasuk Ulama’ Allamah Ahli ilmu-Kalam Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balaqhoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh) Ahli Ilmu-Klam /Tauhid., Ahli Ilmu Tasawwuf –Ahli Ilmu Thoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan, Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah Ilmu Jihad fi sabillillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh ksrns itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah Bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi peryaratan sebagai guru Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh syyaidina Syeikh Abdul Qodir Al –Jaelani, r.a, yang mana seorang mursyid itu seharusnya : 1.Memiliki Ilmu Ulam’ ( Ahli Agama Islam )
2.Memiliki Ilmu Siasah ( Politik Pemerintahan ).
3.Memiliki Ilmu Hikmah ( Kebijaksanaan Ahli Hukum Islam ).
Syeikh K.H. Muslih teryata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan ilmu Tafsirnya, Hadist dan ilmu Muthola’ah Hadistnya ilmu fiqh dan Hilafayahnya, ilmu Usuluddin ( ilmu kalam ) dan ilmu Ushulul Fiqh, ilmu Qiro’ah / Tawid, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Ma’ani, ilmu Bayan Badi’, ilmu arudl, ilmu Qowafi, ilmu Matiq dan ilmu tasawwuf / ilmu Thoriqoh. Ilmu – ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmuthoriqoh / ilmu Tasawwuf. Disamping ilmu-ilmu tersebut Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman diwaktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabitan Islamy maupun do’a-do’a / aurrod yang khusus, tersasuk aurod khusus untuk memdapatkan Ilmu yang bermanfa’at lagi barokah. Ilmu yang manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri ( dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolahnya, sebab fadlol dan rhmat Allah s.w.t ). Sedang ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, baik melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain ). Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik ( guru yang berhasil ) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal ( madrasah ) saat beliau mondok di Termas, Pacitan. Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh K.H. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen,selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki ( dalam setahun kerja, teryata tidak laba dan tidak rugi ) setelah itu beliau berangkat ke Terma memenuhi perintah Syeikh K. H. Maksum Lalem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
III. PERJUANGAN  
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selain berjuangan demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang islami, ternyata beliau juga berjuang fisabilillah di sisi yang lain, yaitu : 1.Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk Pengajian dan Bai’at Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah .
2.Mendirikan / menyelenggarakan Pendidikan Masdrasah/ Sekolah Futuhiyyah
3.Menjadi Pengasuh Utama Pon-Pes Futuhiyyah
4.Memperluas lokasi / Areal Pondok Pesantren
5.Merehab dan membangun Prasarana Pondok Pesantren, termasuk membangun Masjid An-Nur dikonplek Pon-Pes Futuhiyyah.
6.Menjadi Anggota Pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen
7.Menjadi Pengurus Jam’iyyah N.U
8.Menjadi Komandan Barisan Sabilillah, sektor Semarang Timur.
9.Ikut Mendirikan dan menjadi pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia.
10.Mendirikan dan menjadi Pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Nahdiyyah
11.Mendirikan Madrasah Aliyah Persiapan F.H.I UNNU Mranggen
12.Mendirikan F.H.I UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
13.Mendirikan atau menyelenggarakan Madrasah dan Sekolah Formal. IV. MENJADI PENGASUH PON-PES FUTUHIYYAH 
Sebelum Syeikh K.H. Muslih mondok kembali di Pondok Pesantren Termas, beliau sempat mukim dirumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di Pondok Pesantren Sarang. Pondok Pesantren yang telah direhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh K.H. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi berhenti, setelah diminta oleh N.U cabang Mranggen . Akhirnya Syeikh K.H. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di konplek Pon-Pes Futuhiyyah dengan tikat tidak boleh diminta oleh N.U lagi. Jika N.U ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri. Selang beberapa waktu, Pon-Pes Futuhiyyah mendirikan Madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh N.U. Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, Murid dan Gurunya di pindah tempat, yang kemudian dikelola oleh N.U Cabang Mranggen dan dua Kali pula terhenti. Setelah Madrasah yang didirikan oleh Syeikh K.H. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan oleh adik beliau, yaitu Syeikh K.H. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tak boleh dipindah lagi, karena beliau akan Mondok lagi ke Termas. N.U. cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah. Syeikh K.H. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas di ajar oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (kelas Alfiyyah Ibnu Malik). Semula Syeikh K.H. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh K.H. Ali Maksum. Setelah itu, Beliau akhirnya bersedia. Namun Ternyata Syeikh K.H. Ali Maksum hanya sekali mengajar Syeikh K.H. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, lalu beliau menghilang. Dengan berat hati Syeikh K. H. Muslih mengajar dikelas yang ditinggalkan Syeikh K.H . Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh K.H. Ali Maksum Baru muncul dan bertanya kepada murid – murid kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadt baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh K.H. Muslih di tetapkan guru kelas tersebut. Suka duka Syeikh K.H. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh K.H. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya di rawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh K.H. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Al-Hamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan M.I, karana pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyyah yang diselenggarakan pada pagi hari. Mengenai bagaimana tekhnis pengumuman P.M.B yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jenis santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.
Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santri mukimnya semakin bertambah ( antara 300 – 400 orang ), di samping santri lajo yang masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetinan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh K.H. Muslih dikenal sebagai Kiai yang enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin, termasuk Syeikh K.H. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero Jawa Tengah,dan sebagainya.
Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadlol dan rohmat Allah s.w.t. yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah Ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadloh, termasuk dzikir thoriqoh, khususnya Syeikh K.H. Ibrohim. Yahya Brumbung, Syeikh K.H. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh K.H. Hadi Giri Kusumo, Syeikh Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir Al0Jaelani r.a dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan / pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesanten termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring pribadi beliau menggerakkan pulapartisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik dalam bentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber – sumber yang lain berasal dari sumbangan pemerintah. Pada masa hidup beliau, partisipasi santri besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah, sebagai pengalaman ilmu, ikut andil dalam jariyyah, bersatu dan bergotong royng secara ikhlas merealisasi program pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah s.w.t. Untukkeperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelak

Syekh KH. Hanif Mushlih
Berawal dari perdebatan dengan kawannya, ulama yang satu ini mulai menulis buku unik, yang menjadikan rujukan lawannya sebagai bahan “memukul” balik. Buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah peribahasa yang tepat disematkan kepada kiai yang satu ini. Mewarisi tradisi ayah, paman dan kakaknya, ia adalah mursyid salah satu thariqah besar. Ia juga mewarisi keterampilan dan kegemaran ayahnya menulis risalah-risalah agama yang kemudian dibukukan. Karya-karyanya menyoroti topik-topik yang menjadi perdebatan dalam umat Islam, seperti tahlilan, tarawih, ziarah kubur dan sebagainya. Uniknya, dalam membela masalah-maalah “kontroversial” tersebut ia mengedepankan sumber-sumber yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh kalangan yang menentangnya. Menurutnya, kalangan yang anti terhadap ritual kaum nahdliyyin selama ini bertindak tidak adil, karena dalam mengutip pendapat para ulama salaf hanya mengambil bagian-bagian yang menguntungkannya saja. Sedangkan keterangan pendapat berikutnya yang lebih luas justru diabaikan karena menolerir pendapat yang dijadikan rujukan oleh kaum nahdliyyin. Sukses dengan enam buku pertamanya, saat ini ia tengah menyelesaikan penulisan buku tentang tawassul. Tentu dengan mengedepankan sumber-sumber dari ulama yang sebelumnya dicap anti tawassul.
Cukup menarik sekali apa yang dilakukan oleh sanga kiai di sela-sela kesibukannya mengasuh sebuah pesantren besar, membimbing murid-murid thariqahnya dan menjadi anggota legislatif di propinsinya. Siapakah ulama yang kreatif tersebut? Dialah K.H. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, jawa Tengah, yang juga mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Diwawancarai alKisah di rumahnya yang terletak di tengah kompleks Pesantren Futuhiyyah, kiai yang nada bicaranya lembut ini bertutur panjang lebar tentang latar belakang penulisan buku-bukunya, kiprah keulamaannya serta sekelumit perjalanan hidupnya. Penulisan buku pertamanya yang mengangkat topik tahilan, kenang Kiai Hanif, berawal dari kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah kawannya semasa mengaji di Pesantren Futuhiyyah. Sang tamu yang juga pernah menjadi menantu pamannya itu bertanya, “Di Arab Saudi ada tahlilan atau tidak?” Kiai Hanif yang alumnus Universitas Madinah itu terkejut dan mencoba membaca tujuan pertanyaan tersebut. “Sebenarnya sampeyan menanyakan tentang tahlilan, seperti yang lazim di negeri kita ini, atau tentang sampainya hadiah pahala mayyit?,” sang tuan rumah bertanya balik.
Perdebatan Tertulis 
Akhirnya sang tamu mengaku, bahwa inti pertanyaannya adalah yang kedua, tentang sampaikah hadiah pahala untuk orang meninggal. Kiai Hanif pun lalu menjelaskan, bahwa tahlilan dalam arti membaca La ilaha illallah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang meninggal juga diamalkan oleh sebagian besar golongan di Saudi. Mendengar jawaban itu sanga tamu pun membantah dan terjadilah perdebatan sengit hingga larut malam. Belum puas dan tuntas, perdebatan berlanjut hingga beberapa malam berikutnya. Pendengaran sang tamu yang sudah agak terganggu membuat Kiai Hanif harus bersuara keras dalam menjelaskan pendapatnya. Giliran Istri Kiai Hanif yang protes, anak mereka yang masih kecil tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara keras mereka. Akhirnya kiai Hanif memutuskan untuk menulis penjelasannya secara panjang lebar dalam sepucuk surat.
Melalui surat menyurat, perdebatan pun kembali berlanjut dengan seru, sampai akhirnya sang tamu menyerah, dan menyudahi perdebatan itu. “Sudahlah, Kang. Sekarang kita beramal menurut keyakinan masing-masing. Yang jelas keyakinan saya ini mengacu kepada ulama anu, anu dan anu,” katanya dengan nada merendahkan. Kiai Hanif tidak terima dengan nama-nama ulama yang dicatut sang teman sebagai narasumbernya. Dengan penasaran ia lalu melacak kitab rujukan sang lawan, memfotokopi pendapat para ulama yang disebut-sebut dan mempelajarinya dengan lebih seksama. Hasilnya? “Ternyata kebanyakan mereka hanya mengutip ucapan para ulama hanya pada bagian yang mendukung pendapatnya saja. Sementara sisa keterangannya yang mendukung aktivitas tahlil dipotong dan dianggap tidak ada,” kata Kiai Hanif. Belakangan hasil kajian dan penulusurannya tentang dalil-dalil tahlil dan pendapat para ulama tersebut sering dipinjam rekannya sesama kiai untuk dijadikan bahan rujukan diskusi. Karena kerap berpindah-pindah tangan dan dikhawatiran hilang, akhirnya Kiai Hanif memutuskan untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Kebetulan ketika itu Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI), organisasi persatuan pesantren NU, bersedia mencetaknya. Sukses dengan buku pertama, Kiai Hanif pun mulai ketagihan mengkaji dan menulis tema-tema serupa. Ketika ada orang yang bertanya tentang hukum tarawih dua puluh rakaat, misalnya, ia pun menjawabnya dengan menulis sebuah buku. Tentu dilengkapi dengan kutipan pendapat para ulama yang dianggap menentang praktik tarawih 20 raka’at, yang tanpa potongan di sana-sini.Sejak itu berturut-turut ia menulis beberapa buku lagi. Dan saat ini ia tengah menyelesaikan buku terahirnya yang mengupas kontroversi seputar masalah tawassul. Dari pengalamannya menulis, Hanif menyimpulkan, “Kelemahan kita ini adalah karena sering menggampangkan segala urusan. Pokoknya kalau sudah diajarkan dan diamalkan oleh kiainya, dianggap cukup. Tanpa perlu ikut menyusuri dasar hukumnya, atau taqlid buta.” Ditambah lagi kebanyakan kiai juga nggampangke, tambahnya. Kalau mengutip kitab cukup dengan mengambil pendapat ulamanya, tanpa menukilkan dasar Al-Quran dan haditsnya. “Makanya dalam forum bahtsul masail saya selalu mengusulkan untuk mencantumkan juga dasar hukum dari Al-Quran dan haditsnya. Biar anak-anak kita nggak mudah tergoda oleh kelompok yang menganggap kita sesat dengan dalih pendapat kita lemah karena hanya berdasarkan keterangan ahli fiqih. Sementara pendapat mereka lebih kuat karena langsung mengambil dari Al-Quran dan hadits. Padahal, kitab fiqih adalah penjabaran dari hukum Al-Quran dan hadits,” kata Kiai Hanif bersemangat. Dicekoki Paham Wahhabi
Berbincang-bincang dengan Kiai Hanif Muslih memang sangat menyenangkan. Wawasannya yang luas ditopang dengan pengetahuan agamanya yang dalam. K.H. Muhammad Hanif lahir di Mranggen pada bulan Desember 1955 sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara putra pasangan K.H. Muslih Abdurrahman dan Nyai Hj. Marfu’ah. Ayahnya adalah ulama besar pada era 1950an hingga wafatnya pada tahun 1981. Mbah Muslih juga pernah menduduki posisi rais ‘am di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman), organisasinya para pengamal thariqah di tanah air. Meski anak ulama pengasuh pesantren, oleh orang tuanya pendidikan dasar agama Hanif kecil lebih banyak diserahkan kepada para pengajar madrasah di lingkungan pesantrennya. Hanya setiap bulan Ramadhan, Hanif mengikuti pengajian kitab yang diasuh langsung oleh sang ayah di masjid Pesantren Futuhiyyah. Kelas duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah, Hanif diajak kakak iparnya, Kiai Muhammad Ridwan untuk menunaikan ibadah haji, dengan menumpang kapal laut. Tepat ketika usai menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji, Hanif menerima surat dari sang ayah yang memerintahkannya untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Namun karena waktu masa penerimaan murid baru baru saja usai, terpaksa Hanif harus menunggu tahun ajaran baru berikutnya. Selama hampir setahun itu ia menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai sekretaris seorang syaikh yang memiliki usaha pengelolaan haji di siang hari. Di rumah sang syaikh itu pula Hannif tinggal bersama beberapa kawan Indonesianya. Dan malam harinya, usai shlat maghrib, ia mengikuti pengajian Tafsir Ibnu Katsir di Babussalam, Masjidil Haram yang diasuh oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Tahun 1976 Hanif mendaftarkan diri di Universitas Madinah dengan ijazah Madrasah Aliyah Futuhiyyah yang dikirimkan ayahnya. Namun sayangnya, almamaternya waktu itu belum mu’adalah (disetarakan) di Saudi. Karena itu ia harus mengulang sekolah lagi selama setahun di kelas tiga Madrasah Aliyyah Madinah. Baru pada tahun berikutnya, 1977, ia bisa masuk Universitas Madinah. Bersamaan dengan Hanif ada lima alumnus Pesantren Futuhiyyah lain yang diterima di Universitas Madinah. Kebetulan kelimanya juga berasal dari daerah Mranggen. Mereka pun lalu bersepakat akan mengambil jurusan yang berbeda-beda, agar saat kembali ke tanah air nanti akan bersama-sama memperkaya pesantren almamater dengan keilmuan yang beragam. “Ternyata, setelah pulang ke tanah air, semua teman-teman saya diambil menantu oleh para kiai dari berbagai daerah. Tinggal saya saja yang masih tinggal di Mranggen,” kenang Kiai Hanif sambil terkekeh.. Dalam rembugan itu, Hanif sendiri kebagian tugas mengambil jurusan Bahasa Arab, yang terus digelutinya hingga meraih gelar Lc. Banyak hal berkesan yang dialami Kiai Hanif ketika belajar di negeri yang dikuasai oleh kelompok Wahhabi. Di antaranya adalah upaya mencekoki mahasiswa dengan paham Wahhabi. Untungnya, menurut Kiai Hanif, waktu itu masih banyak dosen di Universitas Madinah yang non wahhabi dan berasal dari luar Saudi. “Hanya mata kuliah aqidah saja diampu oleh dosen-dosen asli Saudi yang berpaham Wahhabi, Itu pun mata kuliahnya jarang diminati oleh mahasiswa, karena cara mengajar mereka rata-rata kurang enak,” ungkapnya kemudian.
Pilihan Allah 
Kebetulan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kampus saat itu juga belum seketat sekarang. “Jaman saya dulu masih ada organisasi KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang diantara kegiatannya adalah tahlilan, barzanjen dan manaqiban,” kenangnya. Usai menyelesaikan program S1-nya, Hanif pulang ke tanah air pada bulan Desember 1982 untuk membantu kakaknya, K.H. Luthfi Hakim, mengasuh pesantren Futuhiyyah. Kebetulan setahun sebelumnya, 1981, ayah mereka wafat di Tanah Suci ketika tengah menunaikan umrah Ramadhan. Tak ingin nantinya pusing mencari pendamping hidup, sebelum pulang ke tanah air Hanif pun berpesan kepada sang kakak untuk mencarikan jodoh baginya. Alhamdulillah, kata Kiai Hanif, proses itu tidak memakan waktu lama. Ketika ia tiba di tanah air seorang calon istri sudah menunggunya. Dan tepat bulan maret 1983 ia pun dinikahkan dengan Fashihah gadis asal kendal yang sedang nyantri di Jombang.
Dari perkawinan tersebut Kiai Hanif dianugerahi empat anak yang mewarisi semangat belajarnya yang menyala-nyala. Dalam mendidik anak, Kiai Hanif mengikuti tradisi keluarganya. Dari tingkat MI sampai MTs harus di Futuhiyyah, setelah baru anak-anaknya disuruh nyantri di pesantren lain. “Terserah mereka maunya di mana. Kalau ternyata belum ada gambaran, biasanya saya ajak mereka keliling ke pesantren-pesantren sambil melihat-lihat.” Kiai Hanif mengaku tidak mau memaksakan kehendak kepada anak, apalagi memaksa mereka menjadi ulama. “Menjadi ulama atau tidak itu adalah pilihan Allah. Tugas saya sebagai orang tua hanya membekali anak dengan ilmu dan mengarahkan,” kata Kiai Hanif bersungguh-sungguh. Sebagai putra ulama besar yang terkenal di Nusantara, banyak kenangan berkesan yang dialami Hanif bersama sang ayah. Hal yang paling berkesan dari ayahnya yang ulama sufi adalah kedisiplinan dan kewira’iannya. Kiai Muslih, menurut Hanif, sangat tidak menyukai gemerlap kehidupan dunia. “Seumur hidupnya Abah tidak pernah terdengar bernyanyi. Beliau juga tidak mau memiliki televisi, karena takut melenakannya dari Allah SWT,” kenang Kiai Hanif. “Jika belakangan Mbah Muslih menyuruh saya membeli radio, hal itu tidak lain karena setiap bulan Ramadhan beliau ingin mendengarkan adzan maghrib langsung dari Masjid Jami’ Baiturrahman, Semarang, yang selalu direlay oleh RRI.” Pernah juga suatu ketika Hanif yang sedang menunggu abahnya pulang mengajar di masjid bernyanyi-nyanyi di ruang tamu. Tanpa ia sadari, ayahnya masuk dan terus memandanginya tanpa ekspresi marah. Dengan lembut Mbah Muslih berucap, “Opo kowe wis ora eling mati, Le? (Apa kamu sudah tidak ingat mati, Nak?)”. Meski dikenal sebagai ulama yang linuwih dan waskita, ayahnya juga tidak pernah mengajarkan ilmu yang macam-macam kepada para santri apalagi keluarga. Ketika terjadi gegeran tahun 1966-1970, misalnya, banyak kiai yang mengijazahkan ilmu hikmah kepada santri-santrinya. Namun tidak dengan Kiai Muslih. Ulama sufi itu hanya menganjurkan santri-santrinya untuk memperbanyak berdoa memohon perlindungan kepada Allah. 
Gudang Ilmu Hikmah 
Namun sebagaimana anak-anak seusianya, Hanif sangat penasaran terhadap ilmu hikmah. Karena tidak berani meminta kepada ayahnya, ia pun mengikuti teman-temannya berguru ilmu kanuragan kepada beberapa kiai ahli hikmah yang tinggal di sekitar Mranggen. Lucunya, begitu tahu Hanif adalah anak Kiai Muslih Mranggen, tak ada satu pun kiai yang mau memberikan ijazahnya kepada bocah itu. “Minta saja sama ayahmu,” kata mereka, “Beliau itu gudangnya ilmu hikmah.” Betapa sedihnya Hanif mendengar penolakan itu. Untungnya tak lama kemudian desanya kedatangan tamu, seorang kiai ahli hikmah dari Jawa Timur, yang mau memberikan ijazah berbagai ilmu hikmah kepada siapa saja. Dengan semangat Hanif lalu ikut berguru. Ia mendapat ijazah sebuah amalan yang harus disertai puasa. Tak disangka, ternyata lelakonnya itu ketahuan sang abah. Hanif pun dipanggil ke kamar pribadi Kiai Muslih dan dimarahi. “Kalau kamu senang mempelajari ilmu hikmah, nanti abah sendiri yang akan menjajal ilmu kamu,” bentak Kiai Muslih. Tentu saja wajah Hanif langsung pucat pasi karena ketakutan. “Ilmu hikmah itu tidak usah dipelajari,” lanjut Mbah Muslih. “Yang penting sekarang kamu belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan sebaik-baiknya. Setelah menjadi orang alim, lalu kamu mengajar agar ilmumu mendapat keberkahan. Setelah itu insya Allah semua ilmu hikmah akan datang sendiri.” Uniknya, meski marah, Kiai Muslih tidak menyuruh Hanif menghentikan puasanya. Sebaliknya, Sang Allamah justru menambah sebuah wirid yang dimaksudkan sebagai penyeimbang amalan ilmu hikmahnya tersebut. Ketika disinggung mengenai aktivitas kethariqahannya, Kiai Hanif mengaku sudah ditawari untuk berbai’at oleh ayahnya sejak ia masih kuliah di Madinah. Namun waktu ia yang merasa belum siap menolak tawaran abahnya. Ketika sang ayah wafat, dan Hanif pulang ke tanah air, kakaknya, Kiai Luthfi Hakim juga menawarinya untuk dibai’at. Namun lagi-lagi Kiai Hanif menolak karena merasa belum siap. Ia merasa sebagian besar waktunya saat itu habis untuk mengurus Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI) Jawa Tengah yang selama tiga periode dipimpinnya. “Selain itu, saat itu juga saya merasa masih banyak maksiat,” ungkap Kiai Hanif merendah. Sejak pulang dari Madinah, Kiai Hanif dan Kiai Luthfi memang berbagi tugas. Sang kakak konsentrasi di dalam pondok mengurus santri dan thariqah. Dan Hanif yang kebagian tugas urusan luar pesantren dan masalah keumatan. Namun pada tahun 2003, tepat dua tahun sebelum Kiai Luthfi wafat, Hanif dipanggil sang kakak dan diultimatum, “Mau atau tidak mau, sekarang juga kamu saya bai’at.” Kiai Hanif yang sudah merasa semakin tua dan lebih tenang pun menerima. Ia menjalani tarbiyyah (pendidikan sufistik) dari sang kakak dan pamannya K.H. Ahmad Muthohhar yang juga diangkat sang ayah menjadi mursyid. Tak lama menjalani tarbiyyah, Hanif telah dianggap cukup dan diangkat menjadi khalifah, kemudian mursyid penuh.
Mursyid Pengganti
Meneruskan tradisi ayahnya, yang menjelang wafat mengangkat adiknya K.H. Ahmad Muthohhar Abdurrahman, putranya K.H. Luthfil Hakim, dan menantunya K.H. Makhdum Zein. K.H. Muhammad Ridwan, dan Kiai Abdurrahman Badawi sebagai pengganti, tak lama setelah dua mursyid seniornya wafat Kiai Hanif juga mengumpulkan keponakan-keponakannya. Lima ustadz muda yang merupakan putra lima mursyid sebelumnya itu ditawari untuk dibai’at dan dididik menjadi calon mursyid pengganti. Namun diantara kelimanya hanya K.H. Said Lafif bin Luthi Hakim saja yang bersedia, sementara yang lain mengaku belum siap. Baru belakangan, putra K.H. Ahmad Muthohhar menyusul. Maka jadilah tiga mursyid itu yang secara bersamaan meneruskan tradisi kethariqahan Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Mranggen. Selain membimbing di pesantrennya, belakangan Kiai Hanif juga sering menghadiri undangan murid-muridnya, untuk memimpin tawajjuhan (penhgajian thariqah) dan membai’at murid-murid baru. Saat ini murid TQN Mranggen memang telah tersebar hingga ke pulau-pulau lain di Nusantara, terutama Sumatera. “Saya cuma meneruskan langkah Kiai Luthfil Hakim,” kata Kiai Hanif. Dalam kehidupan modern ini, menurut Kiai Hanif Muslih, setiap orang idealnya masuk ke dalam salah satu thariqah yang mu’tabarah. Sebab seiring kemajuan zaman, problematika kehidupan yang dihadapi umat islam menjadi semakin kompleks. “Dan dalam banyak kompleksitas itu menyebabkan banyak orang yang menderita stress. Di sinilah thariqah menawarkan sebuah solusi kedamaian dan ketentraman dengan pendekatan diri kepada Allah,” tutur Kiai Hanif. Demikianlah sekelumit lagi tentang ulama unik dari pesantren, yang terus berkarya dalam ruang lingkup yang semakin sempit dikepung kemajuan zaman. Menutup perbincangan siang itu, Kiai Hanif berharap, thariqah akan semakin banyak diamalkan dan akan semakin menentramkan jiwa banyak orang. Amin.
Sejarah Pon. Pes. FUTUHIYYAH
A.     PERIODE AWAL
Didirikan oleh Simbah KH. Abdurrahman bin Qosidil Haq bin Abdullah Muhajir, kurang lebih pada tabun 1901. Secara outentik tahun berdirinya belum dapat dipastikan, karena tidak ditemukan data yang kongkrit. Hanya saja menurut cerita orang-orang tua, bahwa pada hujan abu akibat meletusnya gunumg Kelud di permulaan abad 20, Pondok Pesantren Futuhiyyah sudah berdiri, walaupun santrinya masih relatif sedikit, hanya dari daerah Mranggen dan sekitamya. Mereka datang ngaji ke Pondok hanya pada malam hari karena pada pagi harinya harus pulang kerumah untuk membantu orang tua mereka, oleh  karena itu disebut santri kalong. Bermula hanya sebuah surau ( langgar ) yang sebagian digunakan untuk tempat ibadah, mengaji dan musyawarah, sebagian lagi digunakan tempat tinggal oleh santri.
Mereka belajar secara sederhana dan traditional sekali, Yang diajarkan pada mulanya hanya : membaca Al-Qur'an, fashalatan, kitab-kitab tatjamah atau kitab makna gandul, membiasakan bacaan Maulud Diba' - Barzanji, bimbingan untuk mempraktekkan tasawwuf dengan melakukan dzikir ala Thariqoh Qodiriyah wa-n Naqsyabandiyah dan diajak berguru kepada Simbah KH. Ibrahim bin H. Thohir Surodadi Menggolo, Brumbung (KH. Abdurrahman adalah badal Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah simbah KH. Ibrahim).
B.    PERODE PERTENGAHAN
Simbam. KH. Abdurrahman mengasuh Pondok Pantren Futuhiyyah hingga akhir hayatnya pada tahun 1942 { peringatan hari wafat “Haul” nya diselenggarakan setiap tanggal 12 Dzulhijjah }.
Tahun 1926 bertepatan dengan lahimya Nahdlatul Ulama di Surabaya yang diikuti dengan berdirinya cabang NU di daerah Demak, KH Utsman Abdurrahman dengan bantuan beberapa teman pengurus NU Mranggen, mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah.
Mulai Tahun 1927 tanggung jawab pengelolaan Pondok Pesantren yang sudah mendirikan pindidikan formal tersebut diserahkan kepada putera-putera beliau. Dan beliau masih membimbing, mengarahkan dan mengontrol, Hal tersebut  beliau lakukan, karena diharapkan untuk menjadikan mereka sebagai kader-kadet yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat mengharumkan nama baik agama, nusa, bangsa dan keluarga. Dan putera yang pertama kali beliau serahi estafet kepemimpinan ialah putera sulung beliau, yaitu KH. Utsman Abdurrahman sepulangnya dari Pondok Pesantren KH. Ma’shum Lasem, Rembang,
Pada awalnya KH. Utsman masih mempunyai banyak waktu untuk mengurus Pondok Pesantren maupun Madrasah dan sekaligus mengurus Jam'iyah Nahdlatul Ulama Cabang Mranggen, namun sete1ah urusan NU semakin menuntut pengabdiannya lebih banyak, terutama dalam pembinaan generasi muda dengan menyelenggarakan pelatihan silat dan kesenian rodatan serta tabligh ke desa desa pedalaman, akhimya urusan Pondok Pesantren dan Madrasah beliau serahkan kepada adiknya ; KH. Muslih Abdurrahman ( putera kedua KH. Abdlurrahman ) yang kebetulan saat itu sedang liburan dari Pondok Pesantren Sarang Rembang. Selama dua tahun ; 1931-1932, KH. Muslih Abdurrahman harus mengemban amanat yang diberikan Orang tua dan kakaknya untuk mengelola dan mengembangkan Pondok Pesantren dan Madrasah.
Semangatnya yang tinggi dalam menuntut dan mendalami iImu membuat KH. Muslih Abdurrahman setelah mengejawantah Pondok Pesantren dan Madrasah selama 2 tahun, beliau kembali ke Pondok Pesantren Termas, dan untuk pengelolaan Pondok dan Madrasah diserahkan kepada adiknya : KH. Murodi Abdurrahman (Putra ketiga KH. Abdurrahman).
Sedangkan KH. Ustman juga mendirikan Pondok Pesantren sendiri khusus putri, yang terletak di JaIan Raya Mranggen dengan nama ANNURIYAH. Dibawah kepemimpinan KH. Muslih yang kedua inilah, Pondok Pesantren Futuhiyyah setapak demi setapak mulai berkembang dan mulai menjadi tujuan para santri dari berbagai daerah yang menetap/mukim di pondok. Kamar ( gothaan ) santri mulai dibangun dan didirikan, Langgar (surau/Musholla) dibangun menjadi Masjid.


1 komentar:

  1. الحمدلله.......... MAF-1 masih slalu eksis dari dulu ampe sekarang

    BalasHapus